Baca Juga

Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional 
Sistem ekonomi Islam adalah sebuah sistem ekonomi yang terpancar dari aqidah Islamiah. Islam sengaja diturunkan oleh Allah Swt untuk seluruh umat manusia. Sehingga ekonomi Islam akan bekerja sekuat tenaga untuk mewujudkan kehidupan yang baik dan sejahtera bagi manusia. Tetapi hal ini bukanlah sebagai tujuan akhir, sebagaimana dalam sistem ekonomi yang lain. Ekonomi Islam bertitik tolak dari Allah dan memiliki tujuan akhir pada Allah juga (Allah kaghoyyatul ghoyyah). Sebagai ekonomi yang ber-Tuhan maka Ekonomi Islam meminjam istilah dari Ismail Al Faruqi—mempunyai sumber “nilai-nilai normatif-imperatif”, sebagai acuan yang mengikat. Dengan berdasarkan kepada aturan Allah, setiap perbuatan manusia mempunyai nilai moral dan ibadah. Setiap tindakan manusia tidak boleh lepas dari nilai, yang secara vertikal merefleksikan moral yang baik, dan secara horizontal memberi manfaat bagi manusia dan makhluk lainnya.

Nilai moral “samahah” (lapang dada, lebar tangan dan murah hati) ditegaskan dalam Hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim, sebagai prasyarat bagi pelaku ekonomi untuk mendapatkan rahmat Ilahi, baik selaku pedagang, konsumen, debitur maupun kreditur. Dengan demikian, posisi Ekonomi Islam terhadap nilai-nilai moral adalah sarat nilai (value loaded), bukan sekadar memberi nilai tambah (value added) apalagi bebas nilai (value neutral).

Jiwa tatanan dalam ekonomi Islam adalah keseimbangan (tawazun) dan keadilan (al adl). Hal ini terlihat jelas pada pengakuan atas hak individu dan masyarakat. Sistem ekonomi yang moderat, tidak menyakiti dan mengangkat yang lemah (kebalikan dari kapitalis), namun juga mengakui hak dan prestasi individu dan masyarakat (kebalikan dari sosialis). Etika Islam mengajarkan manusia untuk menjalin kerjasama, tolong-menolong dan menjauhkan rasa iri dengki dan dendam. Selain itu juga mengajarkan berkasih sayang, terutama kepada yang lemah.

Dalam mengkaji sistem ekonomi Islam haruslah secara menyeluruh, selain memerlukan pemahaman tentang Islam juga memerlukan pemahaman yang memadai tentang pengetahuan ekonomi secara umum. Keterbatasan dalam pemahaman Islam akan berakibat pada tidak dipahaminya sistem ekonomi Islam secara komprehensif, mulai dari aspek fundamental ideologis sampai pemahaman konsep serta aplikasi praktis. Dengan adanya keterbatasan terebut, seringkali munculnya anggapan bahwa sistem ekonomi Islam tidak berbeda dengan system ekonomi umum yang selama ini.

Keterbatasan dalam pemahaman tentang ekonomi konvensional (kapitalis dan sosialis) dapat menimbulkan anggapan bahwa sistem ekonomi Islam tidak memiliki konsep operasional, namun hanya memiliki konsep-konsep teoritis dan moral seperti yang terdapat pada hukum-hukum fiqh tentang muamalah, seperti perdagangan, sewa-menyewa, simpan-pinjam dan lain-lain. Dengan kata lain sistem ekonomi Islam hanya berada pada tatanan konsep teoritis namun tidak memiliki konsep operasional praktis seperti halnya sistem ekonomi lainnya.

Pemahaman seperti ini seringkali menimbulkan anggapan bahwa sistem ekonomi Islam hanya berisi garis-garis besar tentang ekonomi saja, tetapi tentang rinciannya tidak ada. Oleh karena itu, untuk memahami sistem ekonomi Islam secara lebih jauh, selain memerlukan pemahaman tentang Islam secara utuh, juga memerlukan pemahaman tentang pengetahuan ekonomi secara umum.

Pemahaman konsep Islam diperlukan untuk memahami prinsip-prinsip ekonomi Islam secara utuh, yang merupakan bagian dari sistem Islam secara keseluruhan. Konsep Islam perlu dipahami secara mendasar agar falsafah, tujuan dan strategi operasional dari sistem ekonomi Islam dapat dipahami secara komprehensif, sehingga tidak lagi ada anggapan bahwa sistem ekonomi Islam tidak memiliki landasan filosofis, politis maupun strategis. Menurut Karim (2001), dalam tataran paradigma seperti ini, para ekonom muslim tidak menghadapi masalah perbedaan pendapat yang berarti. Namun ketika mereka diminta untuk menjelaskan apa dan bagaimanakah konsep ekonomi Islam itu, mulai muncullah perbedaan.

Dalam pemikiran para ekonom muslim kontemporer paling tidak ada dua mazhab besar, yaitu: Mazhab Baqir as-Sadr dan Mazhab Mainstream. Pertama, Mazhab Baqir as-Sadr dipelopori oleh Baqir as-Sadr dengan bukunya yang fenomenal: Iqtishadunna (ekonomi kita). Menurut Baqir as-Sadr ilmu ekonomi harus dilihat dari dua sisi, yaitu sisi Pholisophy of Economics dan sisi Science of economics. Contoh Science of economics adalah teori permintaan, yaitu jika terjadi penurunan harga maka permintaan akan naik dan sebaliknya. Inilah yang diebut dengan Science of economics, ideologi manapun akan mengatakan hal yang sama. Mazhab ini berpendapat bahwa ilmu ekonomi tidak pernah bisa sejalan dengan Islam. Ekonomi tetap ekonomi, dan Islam tetap Islam. Keduanya tidak akan pernah dapat disatukan, karena keduanya berasal dari filosofi yang saling kontradiktif. Baqir as-Sadr menolak prinsip sumberdaya yang terbatas dan keinginan manusia yang tidak terbatas. Mereka menolak semua semua teori ilmu ekonomi konvensional dan menyusun teori baru dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Kedua, Mahzab Mainstream berbeda pendapat dengan Mahzab Baqir asSadr. Mazhab ini merupakan mazhab yang paling dominan dalam mempengaruhi pemikiran ekonomi Islam karena tokoh-tokoh yang mempopulerkan kebanyakan berasal dari tokoh Islam. Mereka mengakui adanya keterbatasan sumberdaya, sedangkan keinginan yang tidak terbatas adalah hal yang alamiah. Sehingga pandangannya terhadap masalah ekonomi tidak ada bedanya dengan ekonomi konvensional, perbedaannya hanya pada cara menyelesaikan masalah. Mahzab Mainstraim membenarkan bahwa masalah ekonomi muncul karena sumberdaya yang terbatas yang dihadapkan pada keinginan yang tidak terbatas, artinya dalam kondisi apapun tetap ada keterbatasan sumberdaya.

Pandangan Terhadap Sistem Ekonomi
Istilah Ilmu ekonomi secara umum dipahami sebagai suatu ilmu yang mengkaji bagaimana individu atau kelompok masyarakat menentukan pilihan. Pilihan ini dikarenakan manusia mempunyai keinginan dan kebutuhan yang sifatnya tidak terbatas dan harus dihadapkan pada sedikitnya sumberdaya yang ada. Sehingga untuk memenuhi kebutuhannya, manusia atau kelompok harus membuat pilihan yang terbaik. Pilihan yang dimaksud menyangkut pilihan dalam kegiatan produksi, konsumsi serta kegiatan distribusi barang dan jasa tersebut di tengah masyarakat.

Samuelson dan Nordhaus (2004), menyatakan bahwa ilmu ekonomi merupakan suatu studi tentang perilaku masyarakat dalam menggunakan sumberdaya yang terbatas (langka) dalam rangka memproduksi berbagai komoditi, dan mendistribusikan komoditi tersebut kepada berbagai individu dan kelompok yang ada dalam suatu masyarakat. Ilmu ekonomi merupakan suatu studi mengenai individu-individu dan masyarakat membuat pilihan, dengan atau tanpa penggunaan uang, dengan menggunakan sumberdaya terbatas tetapi dapat digunakan dalam berbagai cara untuk menghasilkan berbagai jenis barang dan jasa serta mendistribusikannya untuk kebutuhan konsumsi, sekarang dan di masa datang, kepada berbagai individu dan golongan masyarakat Ilmu ekonomi membahas aktivitas yang berkaitan dengan alokasi sumberdaya yang langka untuk kegiatan produksi barang dan jasa; ekonomi juga membahas aktivitas yang berkaitan dengan cara-cara memperoleh barang dan jasa; juga membahas aktivitas yang berhubungan dengan kegiatan konsumsi, yakni kegiatan pemanfaatan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup; serta membahas aktivitas yang berkaitan dengan kegiatan distribusi, yakni bagaimana menyalurkan barang dan jasa yang ada di tengah masyarakat. 

Seluruh kegiatan ekonomi mulai dari produksi, konsumsi dan distribusi barang dan jasa tersebut semuanya dibahas dalam ilmu ekonomi yang sering dibahas dalam berbagai literatur ekonomi kapitalis. Pandangan sistem ekonomi di atas mempunyai pembahasan yang berbeda dengan pandangan sistem ekonomi Islam. Perbedaan ini dapat diketahui dengan memahami pada sumber-sumber hukum Islam berupa AI-Qur'an dan As-Sunnah.

Dalam sebuah hadits Rasulullah saw bersabda :
"Dua telapak kaki manusia tidak akan bergeser (pada Hari Kiamat) hingga ia ditanya tentang umumya untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya untuk apa ia pergunakan, tentang hartanya dari mana ia peroleh dan untuk apa ia pergunakan, dan tentang tubuhnya untuk apa ia korbankan" (HR. Tirmidzi dari Abu Barzah ra). Hadits diatas menjelaskan bahwa setiap manusia akan diminta pentanggungjawaban terhadap empat perkara yakni tentang umurnya, ilmunya, hartanya, dan tubuhnya. Tentang umur, ilmu dan tubuhnya setiap orang hanya ditanya dengan masing-masing satu pertanyaan sedangkan berkaitan dengan harta maka setiap orang akan ditanya dengan dua pertanyaan, yakni dari mana hartanya dia peroleh dan untuk apa hartanya dia pergunakan. Hal ini memberikan suatu gambaran bahwa Islam memberi perhatian yang besar terhadap segala aktivitas manusia yang berhubungan dengan harta yang mengarah terhadap barang dan jasa yang dihasilkan.

Menurut An-Nabhaniy (1990), pandangan Islam terhadap masalah ekonomi dari segi keberadaan dan produksi harta kekayaan (penciptaan barang dan jasa) dalam kehidupan yakni ditinjau dari segi kuantitasnya berbeda dengan pandangan Islam terhadap masalah cara memperoleh, memanfaatan, serta mendistribusikan harta kekayaan (barang dan jasa). Masalah ekonomi dari segi keberadaan dan produksi barang dan jasa dimasukkan dalam pembahasan ilmu ekonomi yang bersifat universal dan sama untuk setiap bangsa di dunia.

Sedangkan masalah harta dari segi cara memperoleh, memanfaatan, serta mendistribusikannya dimasukkan dalam pembahasan sistem ekonomi yang dapat berbeda antar setiap bangsa sesuai dengan pandangan hidupnya (ideologinya). 

Ayat-ayat di bawah ini menunjukkan bahwa Allah SWT menegaskan bahwa Dia-lah yang telah menciptakan benda-benda (harta) agar bisa dimanfaatkan oleh manusia secara keseluruhan. Allah SWT berfirman dalam banyak ayat :

"Dialah yang telah menciptakan untuk kalian semua apa saja yang ada di bumi. " (QS. Al-Baqarah : 29)

"Allah-lah yang telah menundukkan untuk kalian lautan, agar bahtera bisa berjalan di atasnyadengan kehendak-Nya, juga agar kalian bisa mengambil kebaikannya. "(QS. Al-Jatsiyat : 12)

"Dan (Dialah) yang menundukkan untuk kalian apa yang ada di langit dan apa yang ada dibumi. " (QS. Al-Jatsiyat : 13)

"Maka, hendaknya manusia itu memperhatikan makanannya. Sesungguhnya, Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya,lalu Kami tumbullkan biji-bijian di bumi itu, anggur dan sayur-sayuran,zaitun dan pohon kurma, kebun-kebun yang lebat, dan buahbuahan serta rumput-rumputan, untuk kesenanganmu dan untuk binatangbinatang ternakmu." (QS. Abasa : 24-32) Berkaitan dengan upaya manusia mengelola kekayaan dunia dari segi bagaimana cara memproduksi harta serta upaya meningkatkan produktivitasnya, maka Islam sebagai sebuah prinsip hidup tidaklah menetapkan cara dan aturan pengelolaan yang khusus, namun menyerahkan kepada manusia untuk mengatur dan mengelolanya dengan kemampuan yang mereka miliki. Tidak terdapat satu keteranganpun baik yang berasal dari Al-Qur'an maupun As-Sunnah yang menjelaskan bahwa Islam ikut campur dalam menentukan masalah bagaimana memproduksi harta kekayaan tersebut. Sebaliknya, banyak keterangan yang menjelaskan, bahwa Islam telah menyerahkan masalah tersebut kepada manusia untuk menggali dan memproduksi kekayaan tersebut.

Sebaliknya, aktivitas ekonomi yang menyangkut bagaimana cara perolehan harta dan pemanfaatan serta pendistribusiannya, maka Islam turut campur dengan cara yang jelas. Hal ini bisa dipahami dari hadits tentang pertanyaan Allah Swt kepada manusia di hari kiamat kelak. Bahwa mereka akan diminta pertanggungjawaban tentang hartanya dari mana serta dengan cara apa ia memperolehnya, juga tentang bagaimana manusia memanfaatkan hartanya tersebut mulai dari kegiatan konsumsi sampai dengan pendistribusiannya.

Berdasarkan tata cara perolehan serta masalah pemanfaatan harta kekayaan, Islam telah mensyariatkan hukum-hukum tertentu dalam rangka memperoleh harta kekayaan. Misalnya Islam mengharamkan pemanfaatan beberapa bentuk harta kekayaan yang haram, seperti minuman keras, bangkai, daging babi. Selain itu Islam juga mensyariatkan hukum-hukum tertentu tentang pendistribusian harta kekayaan melalui pemberian harta oleh negara kepada masyarakat, pembagian harta waris, pemberian zakat, infak, sedekah, wakaf dan lain sebagainya.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa Islam telah memberikan pandangan tentang sistem ekonomi, sementara tentang ilmu ekonomi Islam menyerahkannya kepada manusia. Dengan kata lain Islam telah menjadikan perolehan dan pemanfaatan harta kekayaan sebagai masalah yang dibahas dalam sistem ekonomi. Sementara, secara mutlak Islam tidak membahas bagaimana cara memproduksi kekayaan dan faktor produksi yang bisa menghasilkan harta kekayaan, sebab itu termasuk dalam pembahasan Ilmu Ekonomi yang bersifat universal.

Menurut aliran kapitalis pembahasan ekonomi dari segi penciptaan termasuk upaya meningkatkan produktivitas barang dan jasa; serta pembahasan ekonomi dari segi cara-cara memperoleh, cara memanfaatkan serta cara mendistribusikan barang dan jasa semuanya disatukan dalam lingkup pembahasan apa yang mereka sebut dengan ilmu ekonomi. Padahal terdapat perbedaan mendasar antara pembahasan ekonomi dari segi pengadaan berikut upaya meningkatkan produktivitas barang dan jasa dengan pembahasan ekonomi dari segi cara-cara memperoleh, cara memanfaatkan serta cara-cara mendistribusikan barang dan jasa.

Berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis, menurut Az-Zain (1981); AnNabhaniy (1995); Islam membedakan antara pembahasan ekonomi dari segi pengadaan termasuk upaya meningkatkan produktivitas barang dan jasa dengan pembahasan ekonomi dari segi cara-cara memperoleh, cara memanfaatkan serta cara-cara mendistribusikan barang dan jasa. Pembahasan ekonomi dari segi pengadaan termasuk upaya meningkatkan produktivitas barang dan jasa dimasukkan dalam pembahasan ilmu ekonomi. Sedangkan pembahasan ekonomi dari segi cara-cara memperoleh, cara memanfaatkan serta cara-cara mendistribusikan barang dan jasa dimasukan dalam pembahasan system ekonomi.

Ilmu ekonomi menurut pandangan Islam adalah ilmu yang membahas tentang upaya-upaya mengadakan dan meningkatkan produktivitas barang dan jasa. Dengan kata lain berkaitan dengan produksi suatu barang dan jasa. Karena harta kekayaan sifatnya ada secara alami serta upaya mengadakan dan meningkatkan produktivitasnya dilakukan manusia secara universal, maka pembahasan tentang ilmu ekonomi merupakan pembahasan yang universal pula sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Oleh karena ilmu ekonomi tidak dipengaruhi oleh pandangan hidup (ideologi) tertentu dan bersifat universal, maka ia dapat diambil dari manapun juga selama bermanfaat. Sedangkan "system ekonomi" menjelaskan tentang bagaimana cara memperoleh dan memiliki, cara memanfaatkan serta cara mendistribusikan harta kekayaan yang telah dimiliki tersebut.

Berdasarkan penjelasan ini dapat diketahui bahwa pembahasan "system ekonomi" sangat dipengaruhi oleh pandangan hidup tertentu dan tidak berlaku secara universal. Oleh karena itu sistem ekonomi dalam pandangan Ideologi Islam tentu berbeda dengan sistem ekonomi dalam pandangan Ideologi Kapitalis serta berbeda pula dengan sistem ekonomi dalam pandangan Ideologi Sosialisme dan Komunisme.

Perbedaan Sistem Ekonomi Islam dengan Sistem Ekonomi Lainnya
Sistem ekonomi Islam mempunyai perbedaan yang mendasar dengan sistem ekonomi manapun termasuk kapitalis maupun sosialis. Perbedaan itu tidak hanya mencakup falsafah ekonominya, namun juga pada konsep pokoknya serta pada tataran praktisnya. Walaupun terdapat perbedaan yang fundamental antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya, tetapi dalam implementasinya seringkali dijumpai beberapa persamaan. Namun pada hakikatnya terdapat perbedaan antara sistem ekonomi Islam dengan system ekonomi lainnya karena landasan sistem ekonominya berbeda.

Ilmu ekonomi Islam adalah ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari pola perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhannnya yang sangat tidak terbatas dengan berbagai keterbatasan saran pemenuhan kebutuhan yang berpedoman pada nilai-nilai Islam. Dalam ilmu ekonomi Islam tidak hanya dipelajari individuindividu sosial saja tetapi tentang manusia yang memiliki bakat religius. Hampir sama dengan ekonomi yang lain bahwa timbulnya masalah ekonomi berawal karena kebutuhan yang sangat banyak tetapi alat pemuas kebutuhan yang serba terbatas, namun perbedaan menjadi besar ketika berlanjut pada proses pilihan.

Kesempatan untuk memilih berbagai alat pemuas kebutuhan dalam ekonomi Islam dituntun dengan sebuah etika nilai-nilai Islam. Hal ini tentunya tidak dapat ditolak, mengingat pola perilaku masyarakat akan sangat ditentukan dengan budaya nilai yang ada.

Islam merumuskan sistem ekonomi berbeda dari sistem ekonomi lain, karena memiliki akar dari syariah yang menjadi sumber dan panduan setiap muslim dalam menjalankan setiap kehidupannya. Dalam hal ini Islam memiliki tujuan-tujuan syari’ah (maqosid asy-syariah) serta petunjuk untuk mencapai maksud tersebut. Sebagai sebuah keyakinan yang bersifat rahmatan lil ‘alamin (universal), Islam mudah dan logis untuk dipahami, serta dapat diterapkan, termasuk didalam kaidah-kaidah muamalahnya dalam hubungan sosial ekonomi.

Ekonomi Islam sebagai bagian kegiatan muamalah sesuai kaidah syariah, dapat diartikan sebagai ilmu ekonomi yang dilandasi ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Al-Quran, As-Sunnah, Ijma’ (kesepakatan ulama) dan Qias (analogi). Al-Quran dan As-Sunnah merupakan sumber utama, sedangkan Ijma’ dan Qias merupakan pelengkap untuk memahami al-Quran dan as-Sunnah Ada perbedaan yang mendasar antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya khususnya sistem ekonomi Kapitalis. Perbedaan tersebut mencakup perbedaan pandangan tentang: 
(1) Penetapan permasalahan ekonomi yang dihadapi manusia serta solusi untuk mengatasinya. 
(2) Konsep kepemilikan harta kekayaan. 
(3) Konsep tentang pengelolaan kepemilikan harta.
(4) Konsep tentang distribusi kekayaan di tengah masyarakat.

(1) Masalah Pokok Perekonomian
Terdapat perbedaan penting antara sistem ekonomi Islam dengan system ekonomi lainnya, khususnya kapitalis dalam memandang apa sesungguhnya yang menjadi permasalahan ekonomi manusia. Menurut sistem ekonomi kapitalis, permasalahan ekonomi yang sesungguhnya adalah kelangkaan (scarcity) barang dan jasa. Hal ini karena setiap manusia mempunyai kebutuhan yang beranekaragam dan jumlahnya tidak terbatas sementara sarana pemuas (barang dan jasa) yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia terbatas (Sukirno, 2002). Kebutuhan dalam hal ini mencakup kebutuhan (need) dan keinginan (want), sebab menurut pandangan ini pengertian antara kebutuhan (need) dan keinginan (want) adalah dua hal yang sama, yakni kebutuhan itu sendiri. Setiap kebutuhan yang ada pada diri manusia tersebut menuntut untuk dipenuhi oleh alat-alat dan sarana-sarana pemuas kebutuhan yang jumlahnya terbatas. Oleh karena di satu sisi kebutuhan manusia jumlahnya tidak terbatas sementara alat dan sarana yang digunakan untuk memenuhinya terbatas, maka muncullah konsep kelangkaan.

Dari pandangan tersebut di atas maka sistem ekonomi kapitalis menetapkan bahwa permasalahan ekonomi akan muncul pada setiap diri individu, masyarakat atau negara karena adanya keterbatasan barang dan jasa yang ada pada diri setiap individu, masyarakat atau negara untuk memenuhi kebutuhan manusia yang tidak terbatas. Untuk memecahkan permasalahan ekonomi tersebut adalah dengan menitikberatkan pada aspek produksi dan pertumbuhan sebagai upaya untuk meningkatkan barang dan jasa agar dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Karena itulah maka sistem ekonomi kapitalis menitikberatkan perhatiannya pada upaya peningkatkan produksi nasional dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Karena sangat tergantung pada pertumbuhan ekonomi suatu negara, maka sistem ekonomi kapitalis tidak lagi memperhatikan apakah pertumbuhan ekonomi yang dicapai betul-betul riil yakni lebih mengandalkan sektor riil atau pertumbuhan ekonomi tersebut hanyalah semu, yakni mengandalkan sektor non-riil.

Berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis, sistem ekonomi Islam menetapkan bahwa permasalahan ekonomi adalah masalah rusaknya distribusi kekayaan di tengah masyarakat. Menurut Islam, pandangan sistem ekonomi kapitalis yang menyamakan antara pengertian kebutuhan (need) dengan keinginan (want) adalah tidak tepat dan tidak sesuai dengan fakta. Keinginan (want) manusia memang tidak terbatas dan cenderung untuk terus bertambah dari waktu ke waktu. Sementara itu, kebutuhan manusia ada kebutuhan yang sifatnya merupakan kebutuhan pokok dan ada kebutuhan yang sifatnya pelengkap yakni berupa kebutuhan sekunder dan tersier.

Kebutuhan pokok manusia berupa pangan, sandang dan papan dalam kenyataannya adalah terbatas. Kebutuhan manusia yang sifatnya pelengkap (sekunder dan tersier) maka memang pada kenyataannya selalu berkembang terus bertambah seiring dengan tingkat kesejahteraan individu dan peradaban masyarakatnya (Sukirno, 2002). Namun jika individu atau masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhan pelengkapnya, tetapi kebutuhan pokoknya terpenuhi, maka individu atau masyarakat tersebut tetap dapat menjalani kehidupannya tanpa kesulitan berarti. Oleh karena itu anggapan orang kapitalis bahwa kebutuhan manusia sifatnya tidak terbatas adalah tidak tepat sebab ada kebutuhan pokok yang sifatnya terbatas selain memang ada kebutuhan pelengkap yang selalu berkembang dan terus bertambah.

Karena itulah permasalahan ekonomi yang sebenarnya adalah jika kebutuhan pokok setiap individu masyarakat tidak terpenuhi, dan untuk mengatasinya maka menurut sistem ekonomi Islam, haruslah dengan jalan memberi perhatian yang besar terhadap upaya perbaikan distribusi kekayaan di tengah masyarakat, namun aspek produksi dan pertumbuhan tetap tida diabaikan.

(2) Konsep Kepemilikan Harta kekayaan dan Pengelolaannya
Terdapat beberapa perbedaan pandangan terhadap kepemilikan harta kekayaan berdasarkan ekonomi Islam dan ekonomi konvensional. Pertama, Perbedaan antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya adalah dalam hal konsep kepemilikan harta. Pandangan tentang kepemilikan harta berbeda antara sistem ekonomi sosialis dengan sistem ekonomi kapitalis serta berbeda juga dengan sistem ekonomi Islam. Kepemilikan harta (barang dan jasa) dalam Sistem Sosialis dibatasi dari segi jumlah (kuantitas), namun dibebaskan dari segi cara (kualitas) memperoleh harta yang dimiliki. Artinya dalam memperolehnya dibebaskan dengan cara apapun yang dapat dilakukan.

Sedangkan menurut pandangan Sistem Ekonomi Kapitalis jumlah (kuantitas) kepemilikan harta individu berikut cara memperolehnya (kualitas) tidak dibatasi, yakni dibolehkan dengan cara apapun selama tidak mengganggu kebebasan orang lain. Sedangkan menurut sistem ekonomi Islam kepemilikan harta dari segi jumlah (kuantitas) tidak dibatasi namun dibatasi dengan cara-cara tertentu (kualitas) dalam memperoleh harta (ada aturan halal dan haram).

Demikian juga pandangan tentang jenis kepemilikan harta. Dalam system ekonomi sosialis tidak dikenal kepemilikan individu (private property), yang ada hanya kepemilikan negara (state property) yang dibagikan secara merata kepada seluruh individu masyarakat. Kepemilikan negara selamanya tidak bisa dirubah menjadi kepemilikan individu. Berbeda dengan itu di dalam Sistem Ekonomi Kapitalis dikenal kepemilikan individu (private property) serta kepemilikan umum (public property). Perhatian Sistem Ekonomi Kapitalis terhadap kepemilikan individu jauh lebih besar dibandingkan dengan kepemilikan umum. Tidak jarang kepemilikan umum dapat diubah menjadi kepemilikan individu dengan jalan privatisasi. Berbeda lagi dengan Sistem Ekonomi Islam, yang mempunyai pandangan bahwa ada kepemilikan individu (private property), kepemilikan umum (public property) serta kepemilikan negara (state property). Menurut Sistem Ekonomi Islam, jenis kepemilikan umum khususnya tidak boleh diubah menjadi kepemilikan negara atau kepemilikan individu.

Kedua, Perbedaan dalam hal konsep pengelolaan kepemilikan harta, baik dari segi nafkah maupun upaya pengembangan kepemilikan. Menurut system ekonomi kapitalis dan sosialis, harta yang telah dimiliki dapat dipergunakan (konsumsi) ataupun di kembangkan (investasi) secara bebas tanpa memperhatikan aspek halal dan haram serta bahayanya bagi masyarakat.

Sebagai contoh, membeli dan mengkonsumsi minuman keras (khamr) adalah sesuatu yang dibolehkan, bahkan upaya pembuatannya dalam bentuk pendirian pabrik-pabrik minuman keras dilegalkan dan tidak dilarang.

Sedangkan menurut Islam harta yang telah dimiliki, pemanfaatan (konsumsi) maupun pengembangannya (investasi) wajib terikat dengan ketentuan halal dan haram. Dengan demikian maka membeli, mengkonsumsi barang-barang yang haram adalah tidak diperbolehkan. Termasuk juga upaya investasi berupa pendirian pabrik barang-barang haram juga dilarang. Karena itulah memproduksi, menjual, membeli dan mengkonsumsi minuman keras adalah sesuatu yang dilarang dalam sistem ekonomi Islam.

Ketiga, Perbedaan dalam hal konsep distribusi kekayaan di tengah masyarakat. Menurut sistem ekonomi sosialis, distribusi kekayaan di tengah masyarakat dilakukan oleh negara secara mutlak. Negara akan membagikan harta kekayaan kepada individu rakyat dengan sama rata, tanpa memperhatikan lagi kedudukan dan status sosial mereka. Akibatnya, meskipun seluruh anggota masyarakat memperoleh harta yang sama, namun penghargaan yang adil terhadap jerih payah setiap orang menjadi tidak ada. Sebab berapapun usaha dan produktivitas yang mereka hasilkan, tetap saja mereka memperoleh pembagian harta (distribusi) yang sama dengan orang lain. Karena itulah sistem ekonomi sosialis menolak mekanisme pasar (harga) dalam distribusi kekayaan.

Berbeda juga dengan sistem ekonomi kapitalis yang lebih mengandalkan pada mekanisme pasar (harga) dan menolak sejauh mungkin peranan Negara secara langsung dalam mendistribusikan harta di tengah masyarakat. Menurut mereka mekanisme harga (pasar) dengan invisible hands-nya akan secara otomatis membuat distribusi kekayaan di tengah masyarakat. (Sukirno, 2002).

Karena itulah maka sistem ekonomi kapitalis akan mengabaikan setiap orang yang tidak mampu mengikuti mekanisme pasar dengan baik, dan hanya orangorang yang mampu mengikuti makanisme pasar artinya mampu mengikuti persaingan pasarlah yang layak hidup.

Pandangan ekonomi Islam dalam hal distribusi kekayaan di tengah masyarakat, selain mengandalkan mekanisme ekonomi yang wajar juga mengandalkan mekanisme non ekonomi. Dalam persoalan distribusi kekayaan yang timpang di tengah masyarakat, Islam melalui sistem ekonomi Islam telah menetapkan berbagai mekanisme tertentu yang digunakan untuk mengatasi persoalan distribusi. Mekanisme distribusi yang ada dalam sistem ekonomi Islam secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok mekanisme, yaitu
(1) apa yang disebut mekanisme ekonomi dan 
(2) mekanisme non-ekonomi.

Mekanisme ekonomi adalah mekanisme utama yang ditempuh oleh Sistem Ekonomi Islam untuk mengatasi persoalan distribusi kekayaan. Mekanisme dijalankan dengan jalan membuat berbagai ketentuan yang menyangkut kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan distribusi kekayaan. Dengan sejumlah ketentuanketentuan yang menyangkut berbagai kegiatan ekonomi tertentu, diyakini distribusi kekayaan itu akan berlangsung normal. Namun jika mekanisme ekonomi tidak dapat atau belum mampu berjalan untuk mengatasi persoalan distribusi, baik karena sebab-sebab alamiah yang menimbulkan kesenjangan, atau pun kondisikondisi khusus—seperti karena bencana alam, kerusuhan dan lain sebagainya, maka Islam memiliki sejumlah mekanisme non-ekonomi yang dapat digunakan untuk mengatasi persoalan distribusi kekayaan.

Secara umum mekanisme yang ditempuh oleh sistem ekonomi Islam dapat dilihat berdasarkan mekanisme ekonomi. Mekanisme ekonomi yang ditempuh sistem ekonomi Islam dalam rangka mewujudkan distribusi kekayaan diantara manusia yang seadil-adilnya, adalah dengan sejumlah cara, yakni :
1. Membuka kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya sebab-sebab kepemilikan dalam kepemilikan individu.
2. Memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya pengembangan kepemilikan melalui kegiatan investasi.
3. Larangan menimbun harta benda walaupun telah dikeluarkan zakatnya. Harta yang ditimbun tidak akan berfungsi ekonomi. Pada gilirannya akan menghambat distribusi karena tidak terjadi perputaran harta.
4. Mengatasi peredaran kekayaan di satu daerah tertentu saja dengan menggalakkan berbagai kegiatan ekonomi dan mendorong pusat-pusat pertumbuhan.
5. Larangan kegiatan monopoli, serta berbagai penipuan yang dapat mendistorsi pasar.
6. Larangan judi, riba, korupsi, pemberian suap dan hadiah kepada penguasa.
7. Pemanfaatan secara optimal hasil dari sumberdaya alam milik umum yang dikelola negara seperti hasil hutan, barang tambang, minyak, listrik, air dan sebagainya demi kesejahteraan rakyat.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa Sistem Ekonomi Islam sangat berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis. Mereka percaya bahwa dengan menaikkan produksi, dalam mekanisme pasar akan mengatur distribusi kekayaan secara rasional. Artinya, distribusi kekayaan secara lebih baik tidak bisa dilakukan bila hanya mengandalkan mekanisme ekonomi saja, tetapi harus ada pula mekanisme non ekonomi yang dapat diterapkan untuk mengatasi persoalan distribusi.

Dasar Sistem Ekonomi Islam
Sistem Ekonomi menurut pandangan Islam mencakup pembahasan tentang tata cara perolehan harta kekayaan dan pemanfaatannya baik untuk kegiatan konsumsi maupun distribusi. Dengan membaca dan meneliti hukumhukum syara' yang menyangkut masalah ekonomi tersebut, nampaklah bahwa Islam telah menjelaskan bagaimana seharusnya harta kekayaan (barang dan jasa) diperoleh, juga menjelaskan bagaimana manusia mengelola (mengkonsunisi dan mengembangkan) harta tersebut serta bagaimana mendistribusikan kekayaan yang ada. Sehingga ketika membahas ekonomi, Islam hanya membahas masalah bagaimana cara memperoleh kepemilikan harta kekayaan, bagaimana mengelola kepemilikan harta kekayaan yang dilakukan manusia, serta cara mendistribusikan kekayaan tersebut di tengah-tengah mereka.

Menurut Zallum (1983); Az-Zain (1981); An-Nabhaniy (1990); Abdullah (1990), atas dasar pandangan di atas maka asas yang dipergunakan untuk membangun sistem ekonomi menurut pandangan Islam berdiri di atas tiga pilar (fundamental) yakni: 
(1) bagaimana harta diperoleh yakni menyangkut kepemilikan, 
(2) bagaimana pengelolaan kepemilikan harta, serta 
(3) bagaimana distribusi kekayaan di tengah masyarakat.

An-Nabhaniy (1990) mengatakan, kepemilikan merupakan izin Allah Swt untuk memanfaatkan zat tertentu. Oleh karena itu, kepemilikan tersebut hanya ditentukan berdasarkan ketetapan dari Allah Swt terhadap zat tersebut, serta sebab-sebab pemilikannya. Jika demikian, maka pemilikan atas suatu zat tertentu, tentu bukan semata berasal dari zat itu sendiri, ataupun dan karakter dasarnya yang memberikan manfaat atau tidak. Akan tetapi kepemilikan tersebut berasal dari adanya izin yang diberikan Allah SWT untuk memiliki zat tersebut, sehingga melahirkan akibatnya, yaitu adanya pemilikan atas zat tersebut menjadi sah menurut hukum Islam.

Harta dalam pandangan Islam pada hakikatnya adalah milik Allah Swt, kemudian Allah telah menyerahkannya kepada manusia untuk menguasi harta tersebut melalui izin-Nya sehingga orang tersebut sah memiliki harta tersebut. 

Adanya pemilikan seseorang atas harta kepemilikian individu tertentu mencakup juga kegiatan memanfaatkan dan mengembangkan kepemilikan harta yang telah dimilikinya tersebut. Setiap muslim yang telah secara sah memiliki harta tertentu maka ia berhak memanfaatkan dan mengembangkan hartanya. Hanya saja dalam memanfaatkan dan mengembangkan harta yang telah dimilikinya tersebut ia tetap wajib terikat dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam yang berkaitan dengan pemanfaatan dan pengembangan harta. Secara umum Islam telah memberikan tuntunan pengembangan harta melalui cara-cara yang sah seperti jual-beli, kerja sama syirkah yang Islami dalam bidang pertanian, perindustrian maupun perdagangan. Selain Islam juga melarang pengembangan harta yang terlarang seperti dengan jalan aktivitas riba, judi, serta aktivitas terlarang lainnya.

Mekanisme distribusi kekayaan kepada individu, dilakukan dengan mengikuti ketentuan sebab-sebab kepemilikan serta transaksi-transaksi yang wajar. Hanya saja, perbedaan individu dalam masalah kemampuan dan pemenuhan terhadap suatu kebutuhan, bisa juga menyebabkan perbedaan distribusi kekayaan tersebut di antara mereka. Selain itu perbedaan antara masing-masing individu mungkin saja menyebabkan terjadinya kesalahan dalam distribusi kekayaan. Kemudian kesalahan tersebut akan membawa konsekuensi terdistribusikannya kekayaan kepada segelintir orang saja, sementara yang lain kekurangan, sebagaimana yang terjadi akibat penimbunan alat tukar yang fixed, seperti emas dan perak. Oleh karena itu, syara' melarang perputaran kekayaan hanya di antara orang-orang kaya namun mewajibkan perputaran tersebut terjadi di antara semua orang. Allah Swt berfirman :Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu." (QS. Al-Hasyr : 7)