Baca Juga

Kebenaran tentang keabsahan Nur Muhammad kini menjadi pertikaian hangat di kalangan para ulama.Kebanyakan ulama-ulama sufi mempertahankan keabsahan adanya Nur Muhammad sementara sebagian ulama lain menyanggahnya dan memperlihatkannya sebagai suatu kemasukan atau tambahan baru di dalam ajaran Islam yang suci.Masing-masing pihak mempunyai dalil yang tersendiri.

Segolongan kaum muslimin ada yang meyakini bahwa pertama yang dicipatakan Allah sebelum segala sesuatu ada adalah Nur Muhammad. Selanjutnya, penafsiran tentang Nur Muhammad berikut cerita tentangnya sangat banyak versi disebutkan oleh orang-orang yang meyakininya.

Ada yang menyebutkan bahwa segala sesuatu diciptakan dari nur (cahaya) Muhammad. Ada lagi yang mengatakan bahwa Muhammad diciptakan dari nur Allah. Sebagian lagi mengatakan, “Kalaulah tidak ada dia (Muhammad), matahari, bulan, bintang, lauh, dan Qolam tidak akan pernah diciptakan.”Bahkan ada lagi yang berkata bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam adalah nyawa suci yang merupakan penampakan dzat Tuhan. Serta pendapat-pendapat lain yang sebagiannya kelewat batas dalam mengagungkan Nabi shallallahu alaihi wasallam.

Asal Penciptaan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam

Riwayat paling pokok yang dijadikan alasan meyakini nur Muhammad adalah,

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قاَلَ، قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ، بأبى أنت وأمى! أَخْبِرْنِى عَنْ أَوَّلِ شيْئٍ خَلَقَهُ الله ُقَبْلَ ْالاَشْيَاءِ؟ قَالَ يَا جَابِرُ، إِنَّ اللهَ تَعَالَى خَلَقَ قَبْلَ ْالاَشْيَاءَ نُوْرَ نَبِيِّكَ مِنْ نُوْرِهِ
…رواه عبد الرزاق بسنده.

Dari Jabir bin Abdillah RA, ia berkata, Aku berkata, wahai Rasulullah, Ceritakanlah tentang awal perkara yang Allah ciptakan sebelum segala sesuatu ! Maka Rasul berkata, “Wahai Jabir, Sesungguhnya Allah Taala sebelum segala sesuatu, Ia menciptakan Nur Nabimu, yang berasal dari Nur-Nya.

Riwayatkan ini disandarkan pada Abdur Rozzaq, hanya saja banyak peneliti yang mengatakan tidak menemukan riwayat tersebut dalam mushannafnya, sehingga sulit untuk dilacak jalur sanadnya hingga Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Padahal ini menyangkut keyakinan yang sangat krusial. Dan konsekuensi dari keyakinan yang dilandasi riwayat tersebut bertentangan dengan banyak ayat dan hadits, baik yang tersirat maupun tersurat.

Paham yang meyakini bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam diciptakan dari cahaya, bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam yang shahih,

خُلِقَتِ الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ، وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ، وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ

“Para malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari api dan Adam tercipta dari apa yang disifatkan untuk kalian.” (HR. Muslim: 2996)


Syaikh al-Albani dalam Ash Shahihah setelah menyebutkan keshahihan hadits tersebut berkata, “Dalam hadits ini terdapat isyarat atas kebatilan sebuah riwayat yang populer di kalangan orang-orang yaitu, “Yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah nur Nabimu wahai Jabir.” Dan riwayat-riwayat semisalnya yang menyatakan bahwa Rasulullah tercipta dari cahaya. Sementara, hadits yang shahih ini menjadi dalil yang sangat jelas bahwa hanya para malaikat saja yang tercipta dari cahaya, bukan Adam dan bukan pula anak keturunannya.”

Al-Qur’an juga dengan jelas menyebutkan bahwa secara penciptaan, Nabi Muhammad adalah manusia sebagaimana rasul-rasul sebelumnya dan juga manusia pada umumnya. Allah berfirman,
“Katakanlah, “Maha suci Rabbku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul” (QS al-Isra’ 93)‎


Adapun tentang awal penciptaan, riwayat tentang nur Muhammad tersebut juga bertentangan dengan hadits yang jelas shahih secara sanad dan lebih sharih secara makna,

إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ، فَقَالَ لَهُ: اكْتُبْ قَالَ: رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ؟ قَالَ: اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ

“Sesungguhnya yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah qalam (pena), lalu Allah berfirman, “Tulislah!” Pena berkata, “Wahai Rabbi, apa yang harus aku tulis?” Allah berfirman, “Tulislah ketetapan segala sesuatu hingga tegaknya hari Kiamat.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi)

Di antara perkataan yang bersesuaian dengan pendapat bahwa makhluq yang pertama diciptakan oleh Allah swt adalah Nur Muhammad saw adalah perkataan Ibnu Arabi, beliau menerangkan bahwa: "Hakikat Muhammad (Nur Muhammad) yang menjadi inti insan kamil (manusia sempurna) adalah sebagai penyebab penciptaan alam". Dan selanjutnya ia berkata pula: "Wadah pertama sebagai tempat Nur Muhammad mengidentifikasikan dirinya secara sempurna ialah jasad Adam sebagai manusia pertama yang diciptakan Tuhan". Hal tersebut sesuai dengan hadits nabi yang diriwayatkan dari Jabir:

إِنَّ الله خَلَقَ نُوْرَ النَبِيِّ صَلَى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مِنْ نُوْرِهِ وَخَلَقَ الْعَالَمَ بِأَسْرِهِ مِنْ نُورِ مُحَمَّدٍ صَلَى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ


"Sesungguhnya Allah saw telah menciptakan nur nabi Muhammad saw dari nur-Nya dan kemudian dijadikan alam raya ini dari nur nabi Muhammad saw".

Di samping itu terdapat pula hadits yang diriwayatkan oleh Umar dan Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa hakikat Muhammad (Nur Muhammad) adalah sebagai penyebab penciptaan alam, Rasulullah saw bersabda:

يَا عُمَر اَتَدْرِى مَنْ اَنَا، اَنَا الَّذِى خَلَقَ الله عَزَّوَجَلَّ نُوْرِىاَوَّل كُلِ شَيْءٍ فَسَجَدَ لله وَ بَقِى فِي سُجُوْدِهِ سَبْعَمِاَئَة عَام وَلاَفَخْرَ. يَا عُمَر اَتَدْرِى مَنْ اَنَا، اَنَا الَّذِى خَلَقَ الله القَلَمَ وَاللَوْحَ وَ العَرْشَ وَالكُرْسِى وَالعَقْلَ الأَوَّلَ وَ نُوْرَ الإِيْمَانِ مِنْنُوْرِى


"Wahai Umar, apakah engkau ingin tahu siapa saya? Saya adalah yang Allah pertama kali ciptakan cahayaku sebelum segala sesuatu, maka sujudlah cahayaku itu kepada Allah hingga tujuh ratus tahun dan tidak sombong. Wahai Umar, apakah engkau ingin tahu siapa saya? Saya adalah yang dari cahayaku Allah telah ciptakan qolam, lauh, arsy, kursi, akal pertama dan cahaya iman".

Dari Jabir, Rasulullah bersabda:

عَن جَابِر رَضِى الله عَنْهُ قَالَ: قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ بِأبِىوَأمِىأخْبِرْنِى عَنْ أوَّلِ شَيْءٍ خَلَقَهُ الله تَعَالَى قَبْلَ الأشْيَآء. قَالَ يَاجَابِر إنَّ الله تَعَالىَ خَلَقَ قَبْلَ الأشْيَآءِ نُوْرَ نَبِيِّكَ مِنْ نُوْرِهِفَجَعَلَ ذَالِكَ النُوْرَ يدور بِالقُدْرَةِ حَيْثُ شَاء الله وَلَمْ يَكُنْ فِىذَالِكَ الْوَقْتِ قَلَم وَلاَ لَوْح وَلاَ عَرْش وَلاَ كُرْسِى وَلاَ مَلَكوَلاَ رُوْح وَلاَ جَنَة وَلاَ نَار وَلاَ سَمَاء وَلاَ أَرْض وَلاَ شَمْسوَلاَ قَمَر وَلاَ إِنْس وَلاَ جَن. فَلَمَّا أرَادَ الله أنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَقسم ذَالِكَ النُوْر أرْبَعَة أجْزاء فَخَلَقَ مِنْ الجُزءِ الأوَّلِ الْقَلَموَمِن الثَانِى اللَوْح وَمِن الثَالِث الْعَرْش ثُمَّ قسم الْجُزء الْرَابِعأَرْبَعَة أجْزَاء فَخَلَقَ مِن الأ وَّلِ حملة العَرْشِ وَ مِن الثَانِىالكُرْسى وَ مِن الثَالِث بَاقى المَلاَئِكَة ثُمَّ قسم الرَابِع أرْبَعَةأجْزَاء فَخَلَقَ مِن الأ وَّلِ الجَنَّة وَالنَار وَمِن الثَانِى السَّمَوَات، وَمِن الثَالِثِ الأرْض ثُمَّ قسم الرَابِع أجْزَاء فَخَلَقَ مِن الأوَّلِ الشَمْس وَ القَمَر وَ النُجُوم وَمِن الثَانِى البُرُوج وَالأفْلاَقوَ مِن الثَالِث العَقْل وَالأبْصَاروَالبَصَائِر وَنُور الإيمَانِ


"Dari Jabir berkata: Demi ayah dan ibuku, Ya Rasulullah, beritahukanlah kepadaku tentang suatu yang diciptakan Allah swt sebelum segalanya yang lain. Rasulullah menjawab: Wahai Jabir, sesungguhnya Allah telah menciptakan nur Nabimu dari nur-Nya sebelum sesuatu yang lain. Maka dijadikan nur itu berkeliling sesuai dengan yang dikehendaki Allah swt, dan tidaklah dijadikan pada saat itu qalam, lauh, arsy, kursy, malaikat, ruh, surga, neraka, langit, bumi, matahari, bulan, manusia, dan jin. Dan ketika Allah swt menghendaki untuk menciptakan makhluqnya, maka nur tersebut dibagi menjadi empat bagian. Dari bagian pertama diciptakan qalam, dari bagian kedua diciptakan lauh, dari bagian ketiga diciptakan arsy, dan dari bagian keempat, nur tersebut dibagi lagi menjadi empat bagian, dari bagian pertama diciptakan isi arsy, dari bagian yang kedua diciptakan kursy, dari bagian yang ketiga diciptakan malaikat, kemudian dari bagian keempat, nur tersebut dibagi menjadi empat bagian, dari bagian pertama diciptakan surga dan neraka, dari bagian kedua diciptakan langit, dari bagian ketiga diciptakan bumi, dan dari bagian keempat dibagi menjadi empat bagian, dari bagian pertama diciptakan matahari, bulan dan bintang, dari bagian kedua diciptakan planet dan benda-benda langit, dari bagian yang ketiga diciptakan akal dan penglihatan dan cahaya iman".

Dari Jabir bin Abdillah al-Anshari berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah, apakah yang pertama diciptakan oleh Allah swt? Rasulullah menjawab: 'Nur Nabimu wahai Jabir, kemudian Allah swt menciptakan segala kebaikan dari nurku'.

Nur Muhammad itulah yang menjadikan sebagian manusia menjadi insan kamil. Akan tetapi insan kamil yang muncul dalam setiap zaman semenjak nabi Adam, tidak dapat melebihi keutamaan Nabi Muhammad saw, hal tersebut dibuktikan dalam alquran surah al-Ahzab ayat 21:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ…

"Sesungguhnya pada pribadi Rasulullah saw terdapat suri tauladan yang baik bagimu."

Dalam surah al-Qalam ayat 4 disebutkan:

وَإنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْمٍ


"Sesungguhnya engkau (Muhammad) adalah pribadi yang agung".

Selain ayat alquran, hal tersebut terdapat pula dalam hadits:

اَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَم يَوْمَ القِيَامَةِ


"Saya adalah penghulu keturunan Adam pada hari kiamat".

كُنْتُ نَبِيًا وَ آدَم بَيْنَ المَاءِ وَالطِيْنِ وَبَيْنَ الرُوْحِ وَالجَسَدِ

"Saya telah menjadi nabi dan Adam masih berada antara air dan tanah, antara ruh dan jasad".

Sedangkan hadits yang serupa/senada diatas yang sumbernya berasal dari Ibnu Abbas hanya pada nash hadits tersebut ada sedikit perbedaan yaitu dengan tambahan:


وَلَوْلآ مُحَمَّدٌ مَا خَلَقْتُ آدَمَ وَلآ الجَنَّةَ وَلآ النَّـارَ

‘Kalau bukan karena Muhammad Aku (Allah) tidak menciptakan Adam, tidak menciptakan surga dan neraka’.

Mengenai kedudukan hadits diatas para ulama berbeda pendapat. Ada yang menshohihkannya, ada yang menolak kebenaran para perawi yang meriwayatkannya, ada yang memandangnya sebagai hadits maudhu’, seperti Adz-Dzahabi dan lain-lain, ada yang menilainya sebagai hadits dha’if dan ada pula yang menganggapnya tidak dapat dipercaya. Jadi, tidak semua ulama sepakat mengenai kedudukan hadits itu. Akan tetapi Ibnu Taimiyah sendiri untuk persoalan hadits tersebut beliau menyebutkan dua hadits lagi yang olehnya dijadikan dalil. Yang pertama yaitu diriwayatkan oleh Abul Faraj Ibnul Jauzi dengan sanad Maisarah yang mengatakan sebagai berikut :


قُلْتُ يَا رَسُوْلُ اللهِ, مَتَى كُنْتَ نَبِيَّا ؟ قَالَ: لَمَّا خَلَقَ اللهُ الأرْضَ وَاسْتَوَى إلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَما وَا تٍ,
وَ خَلَقَ العَرْشَ كَتـَبَ عَلَى سَـاقِ العَـرْشِ مُحَمَّتدٌ رَسُوْلُ اللهِ خَاتَمُ الأَنْبِـيَاءِ , وَ خَلَقَ اللهُ الجَنَّـةَ الَّتِي أسْكَـنَهَا
آدَمَ وَ حَوَّاءَ فَكـُتِبَ إسْمِي عَلَى الأبْـوَابِ وَالأوْرَاقِ وَالقـِبَابِ وَ الخِيَامِ وَ آدَمُ بَيْـنَ الرَُوْحِ وَ الجَسَدِ,فَلَـمَّا أحْيَاهُ اللهُ
تَعَالَى نَظَرَ إلَى العَـرْشِ , فَرَأى إسْمِي فَأخْبَرَهُ الله أنَّهُ سَيِّدُ وَلَدِكَ, فَلَمَّا غَرَّهُمَا الشَّيْطَانُ تَابَا وَاسْتَشْفَعَا بِإسْمِي عَلَيْهِ

“Aku pernah bertanya pada Rasulallah saw.: ‘Ya Rasulallah kapankah anda mulai menjadi Nabi?’ Beliau menjawab: ‘Setelah Allah menciptakan tujuh petala langit, kemudian menciptakan ‘Arsy yang tiangnya termaktub Muhammad Rasulallah khatamul anbiya (Muhammad pesuruh Allah terakhir para Nabi), Allah lalu menciptakan surga tempat kediaman Adam dan Hawa, kemudian menuliskan namaku pada pintu-pintunya, dedaunannya, kubah-kubahnya dan khemah-khemahnya. Ketika itu Adam masih dalam keadaan antara ruh dan jasad. Setelah Allah swt .menghidupkannya, ia memandang ke ‘Arsy dan melihat namaku. Allah kemudian memberitahu padanya bahwa dia (yang bernama Muhammad itu) anak keturunanmu yang termulia. Setelah keduanya (Adam dan Hawa) terkena bujukan setan mereka ber- taubat kepada Allah dengan minta syafa’at pada namaku’ ”.

Sedangkan hadits yang kedua berasal dari Umar Ibnul Khattab (diriwayatkan secara berangkai oleh Abu Nu’aim Al-Hafidz dalam Dala’ilun Nubuwwah oleh Syaikh Abul Faraj, oleh Sulaiman bin Ahmad, oleh Ahmad bin Rasyid, oleh Ahmad bin Said Al-Fihri, oleh Abdullah bin Ismail Al-Madani, oleh Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dan ayahnya) yang mengatakan bahwa Nabi saw. berrsabda:


لَمَّا أصَابَ آدَمَ الخَطِيْئَةُ, رَفَعَ رَأسَهُ فَقَالَ: يَا رَبِّ بَحَقِّ مُحَمَّدٍ إلاَّ غَفَرْتَ لِي, فَأوْحَى إلَيْهِ, وَمَا مُحَمَّدٌ ؟
وَمَنْ مُحَمَّدٌ ؟ فَقَالَ: : يَا رَبِّ إنَّكَ لَمَّا أتْمَمْتَ خَلْقِي وَرَفَعْتُ رَأسِي إلَى عَرْشِكَ فَإذَا عَلَيْهِ مَكْتُوْبٌ
لإلَهِ إلااللهُ مُحَمَّدٌ رَسُـولُ اللهِ فَعَلِمْتُ أنَّهُ أكْرَمُ خَلْقِـكَ عَلَيْكَ إذْ قَرََرَنْتَ إسْمُهُ مَعَ اسْمِكَ فَقَالَ, نَعَمْ, قَدْ غَفَرْتُ لَكَ ,
وَهُوَ آخِرُ الأنْبِيَاءِمِنْ ذُرِّيَّتِكَ, وَلَوْلاَهُ مَا خَلَقْتُكَ

“Setelah Adam berbuat kesalahan ia mengangkat kepalanya seraya berdo’a: ‘Ya Tuhanku, demi hak/kebenaran Muhammad niscaya Engkau berkenan mengampuni kesalahanku’. Allah mewahyukan padanya: ‘Apakah Muhamad itu dan siapakah dia?’ Adam menjawab: ‘Ya Tuhanku, setelah Engkau menyempurnakan penciptaanku, kuangkat kepalaku melihat ke ‘Arsy, tiba-tiba kulihat pada “Arsy-Mu termaktub Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulallah. Sejak itu aku mengetahui bahwa ia adalah makhluk termulia dalam pandangan-Mu, karena Engkau menempatkan namanya disamping nama-Mu’. Allah menjawab: ‘Ya benar, engkau Aku ampuni,. ia adalah penutup para Nabi dari keturunanmu. Kalau bukan karena dia, engkau tidak Aku ciptakan’ ”.

Yang lebih heran lagi dua hadits terakhir ini walaupun diriwayatkan dan di benarkan oleh Ibnu Taimiyyah, tapi beliau ini belum yakin bahwa hadits-hadits tersebut benar-benar pernah diucapkan oleh Rasulallah saw.. Namun Ibnu Taimiyyah toh membenarkan makna hadits ini dan menggunakannya untuk menafsirkan sanggahan terhadap sementara golongan yang meng- anggap makna hadits tersebut bathil/salah atau bertentangan dengan prinsip tauhid dan anggapan-anggapan lain yang tidak pada tempatnya. 

Ibnu Taimiy yah dalam Al-Fatawi jilid XI /96 berkata sebagai berikut:
“Muhammad Rasulallah saw. adalah anak Adam yang terkemuka, manusia yang paling afdhal (utama) dan paling mulia. Karena itulah ada orang yang mengatakan, bahwa karena beliaulah Allah menciptakan alam semesta, dan ada pula yang mengatakan, kalau bukan karena Muhammad saw. Allah swt. tidak menciptakan ‘Arsy, tidak Kursiy (kekuasaan Allah), tidak menciptakan langit, bumi, matahari dan bulan. Akan tetapi semuanya itu bukan ucapan Rasulallah saw, bukan hadits shohih dan bukan hadits dho’if, tidak ada ahli ilmu yang mengutipnya sebagai ucapan (hadits) Nabi saw. dan tidak dikenal berasal dari sahabat Nabi.

Hadits tersebut merupakan pembicaraan yang tidak diketahui siapa yang mengucapkannya. Sekalipun demikian makna hadits tersebut tepat benar dipergunakan sebagai tafsir firman Allah swt.:  “Dialah Allah yang telah menciptakan bagi kalian apa yang ada dilangit dan dibumi ” (S.Luqman : 20), surat Ibrahim 32-34 (baca suratnya dibawah ini.) dan ayat-ayat Al-Qur’an lainnya yang menerangkan, bahwa Allah menciptakan seisi alam ini untuk kepentingan anak-anak Adam. Sebagaimana diketahui didalam ayat-ayat tersebut terkandung berbagai hikmah yang amat besar, bahkan lebih besar daripada itu. Jika anak Adam yang paling utama dan mulia itu, Muhammad saw. yang diciptakan Allah swt. untuk suatu tujuan dan hikmah yang besar dan luas, maka kelengkapan dan kesempurnaan semua ciptaan Allah swt. berakhir dengan terciptanya Muhammad saw.“. Demikianlah Ibnu Taimiyyah.
Firman-Nya dalam surat Ibrahim 32-34 yang dimaksud Ibnu Taimiyyah ialah:


اللهُ الَّذِى خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَ الاَرْضَ وَاَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً َفاَََخْرَجَ بِهِ
مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًالَكُمْ وَسَخَّرَ لَكُمُ الفُلْكَ لِتَجْرِيَ فِى البَحْرِ بِاَمْرِهِ وَسَخَّرَ لَكُمُ
الاَنْهَارَ َوَسَخَّرَ لَكُمُ الشَّمْسَ وَالقَمَرَ دَائِبَيْنِ وَسَخَّرَ لَكُمُ الَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَآتَاكُمْ مِنْ
كُلِّ مَا سَاَلْتُمُوْه وَاِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَةَ اللهِ لاَ تُحْصُوْهَا اِنَّ الاِنْسَانَ لَظَلُوْمٌ كَفَّارٌ

“Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rizki untuk kalian, dan Dia telah menundukkan bahtera bagi kalian supaya bahtera itu dapat berlayar di lautan atas kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan sungai-sungai bagi kalian. Dan Dia jualah yang telah menundukkan bagi kalian matahari dan bulan yang terus menerus beredar dalam orbitnya masing-masing dan telah menundukkan bagi kalian siang dan malam. Dan Dia jugalah yang memberikan kepada kalian apa yang kalian perlukan/mohonkan. Dan jika kalian menghitung-hitung nikmat Allah, kalian tidak akan dapat mengetahui berapa banyaknya. Sesungguhnya manusia itu, sangat dzalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)”.(QS Ibrahim :32-34).

Dan sesungguhnya Nur Baginda Nabi Muhammad SAW senantiasa bertasbih kepada Allah SWT dengan diikuti oleh para malaikat dan para arwah di alam malakut, jauh puluhan ribu tahun sebelum Nabi Adam AS diciptakan oleh Allah SWT. Sebagaimana hal itu telah disebutkan oleh Imam Jalaluddin As-Suyuthi di Kitab Ad-Durarul Hisaan Fil Ba’tsi Wa Na’iimil Jinan Haamisy Daqa’iqul Akhbaar hal 2 & 3.

Dan sesungguhnya kalau bukan demi Baginda Nabi Muhammad SAW maka Allah SWT tidak akan menciptakan segala sesuatu. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadis qudsiy;

لولاك لولاك لما خلقت الأفلاك

“Seandainya tidak ada Engkau (wahai Nabi Muhammad SAW, sungguh Aku (Allah SWT) tidak akan menciptakan alam semesta”

Maka segala anugerah yang telah melimpah kepada makhluk-makhluk Allah SWT, semata-mata adalah dengan berkatnya Baginda Nabi Muhammad SAW. Bahkan segala kemuliaan  para Malaikat dan Para Nabi  adalah semata-mata berkat Baginda Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana yang telah diterangkan oleh Syeikh Yusuf bin Ismail An-Nabhani di kitabnya Hujjatullah ‘Alal ‘Alamin hal 53 & 54 ;

قال الشيخ يوسف بن إسماعيل النبهاني في حجة الله على العالمين   ص53 -54 
إنما ظهر الخير لأهله ببركة سيدنا رسول الله صلى الله عليه وسلم وأهل الخير هم الملائكة والأنبياء والأولياء وعامة المؤمنين


“Bahwa sesungguhnya segala kebaikan yang melimpah kepada makhluk-makhluk Allah SWT yang mulia adalah semata-mata berkat Baginda Nabi  Muhammad SAW, mereka itu adalah para Malaikat, para Nabi dan semua orang-orang mukmin”.

Dan sesungguhnya manakala Allah SWT telah  menciptakan Nabi Adam AS, Allah SWT senantiasa memanggilnya dengan julukan Abu Muhammad, sehingga Nabi Adam AS bertanya kepada Allah SWT tentang rahasia panggilan tersebut, sebagaimana hal itu telah diriwayatkan oleh Syeikh Ahmad bin Zaini Dahlan Al-Hasaniy dalam kitabnya As-Sirah An-Nabawiyyah juz 1 hal 15 ;

قال الشيخ أحمد بن زيني دحلان الحسني في السيرة النبوية الجزء الأول ص 15
ويروى من طرق شتى أن الله تعالى لما خلق آدم عليه السلام ألهمه الله أن قال : يا رب لم كنيتني أبا محمد ؟ قال الله تعالى : يا آدم إرفع رأسك فرفع رأسه فرأى نور محمد صلى الله عليه وسلم في سرادق العرش فقال : يا رب ما هذاالنور ؟ قال : هذا نور نبي من ذريتك إسمه في السماء أحمد وفي الأرض محمد  لولاه ما خلقتك ولا خلقت سماء ولا أرضا

“Bahwa sesungguhnya Allah SWT sesudah menciptakan Nabi Adam AS maka Allah SWT memberi ilham kepada Nabi Adam AS untuk bertanya kepada-Nya; Ya Allah, kenapa Engkau juluki aku dengan “Abu Muhammad” (Ayahnya/bapaknya  Muhammad)? Maka Allah SWT Berfirman kepada Nabi Adam AS; Hai Adam, Angkat kepalamu. Maka Nabi Adam AS kemudian mengangkat kepalanya. Seketika itu Beliau melihat Nur (cahaya) Baginda Nabi Muhammad SAW meliputi di sekitar ‘Arasy. Nabi Adam AS bertanya; Ya Allah, Nur siapa ini ? Allah SWT Berfirman; Ini adalah Nur seorang Nabi dari keturunanmu, di langit namanya Ahmad, di bumi namanya Muhammad. Kalau bukan karena Dia niscaya Aku tidak akan menciptakan kamu, langit dan bumi.”

Kemudian Allah SWT meletakkan Nur Baginda Nabi Muhammad SAW dalam punggung Nabi Adam AS, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Jalaluddin As-Suyuthi dalam Kitabnya Ad-Durarul Hisan Hamisy Daqo’iqul Akhbar hal 5;

قال الامام جلال الدين السيوطي في الدرر الحسان هامش دقائق الأخبار ص 5:
ثم ان الله تعالى استودع نور محمد صلى الله عليه وسلم في ظهره وأسجد له الملائكة وأسكنه الجنة فكانت الملائكة تقف خلف آدم صفوفا صفوفا يسلمون على نور محمد صلى الله عليه وسلم


“Bahwa sesungguhya Allah SWT telah meletakkan Nur Baginda Nabi Muhammad SAW dalam punggung Nabi Adam AS. Sehingga para malaikat sujud dan berbaris rapi di belakang Nabi Adam AS untuk menghaturkan salam kepada Nur Baginda Nabi Muhammad SAW”.

Dan pada saat itu pula Allah SWT memerintahkan kepada Iblis agar sujud kepada Nabi Adam AS, namun dia membangkang dan sombong. Sebagaimana disebutkan dalam Firman Allah SWT Surat Al-Baqarah ayat 34 ;

وإذ قلنا للملائكة اسجدوا لآدم فسجدوا إلا إبليس أبى واستكبر وكان من الكافرين)   البقرة  34  )


“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat; “Sujudlah kalian semua kepada Adam”, maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan sesungguhnya ia (Iblis) termasuk golongan orang-orang yang kafir”. (Q.S.Al-Baqarah 34).


Allah menciptakan Nur Muhammad, atau al-haqiqat Al-Muhammadiyyah (Hakikat Muhammad) sebelum menciptakan segala sesuatu. Nur Muhammad disebut sebagai pangkal atau asas dari ciptaan. Ini adalah misteri dari hadis qudsi yang berbunyilawlaka, lawlaka, maa khalaqtu al-aflaka—”Jika bukan karena engkau, jika bukan karena engkau (wahai Muhammad), Aku tidak akan menciptakan ufuk (alam) ini.” Allah ingin dikenal, tetapi pengenalan Diri-Nya pada Diri-Nya sendiri menimbulkan pembatasan pertama (ta’ayyun awal). Ketika Dia mengenal Diri-Nya sebagai Sang Pencipta, maka Dia “membutuhkan” ciptaan agar Nama Al-Khaliq dapat direalisasikan. Tanpa ciptaan, Dia tak bisa disebut sebagai Al-Khaliq. Tanpa objek sebagai lokus limpahan kasih sayang-Nya, dia tak bisa disebut Ar-Rahman. Maka, perbendaharaan tersembunyi dalam Diri-Nya itu rindu untuk dikenal, sehingga Dia menciptakan Dunia—seperti dikatakan dalam hadis qudsi, “Aku adalah perbendaharaan tersembunyi, Aku rindu untuk dikenal, maka kuciptakan Dunia.”

Tetapi kosmos atau alam adalah kegelapan, sebab dalam dirinya sendiri alam sebenarnya tidak ada. Dalam kegelapan tidak akan terlihat apa-apa. Karenanya, agar sesuatu segala sesuatu muncul dalam eksistensi ini diperlukanlah cahaya. Melalui cahaya inilah Dia memahami dan dipahami sekaligus. Inilah manifestasi pertama dari Perbendaharaan Tersembunyi, yakni Nur Muhammad. Jadi yang pertama diciptakan adalah Nur Muhammad yang berasal dari “Cahaya-Ku”. Nur Muhammad adalah sebentuk “pembatasan” (ta’ayyun) atas Keberadaan Absolut; dan bagian ini tidaklah diciptakan, tetapi sifat dari Pencipta. Dengan demikian, berdasar hadis-hadis tersebut dapat disimpulkan bahwa dunia adalah dari Nur Muhammad dan Nur Muhammad berasal dari Nur Allah. Karena fungsinya sebagai prototipe aturan tata semesta dalam keadaan global, maka Nur Muhammad adalah wadahtajalli-Nya yang sempurna dan sekaligus kecerdasan impersonal yang mengatur tatanan kosmos, atau Logos, seperti dikatakan dalam hadis masyhur lainnya, “Yang pertama diciptakan Allah adalah akal (aql al-awwal).” Jadi, Nur Muhammad adalah semacam “wadah” yang senantiasa dialiri oleh Cahaya Pengetahuan ilahiah, yang dengan Pengetahuan itulah alam semesta ditata. Maulana Rumi menyatakan bahwa pada saat penciptaan Nur itu, Allah menatap Nur Muhammad itu 70,000 kali setiap detik. Ini berarti bahwa Hakikat Muhammadiyyah itu terus-menerus dilimpahi Cahaya Pengetahuan, Cahaya Penyaksian. Cahaya demi Cahaya terus berdatangan—cahaya di atas cahaya—masuk ke dalam hakikat Nur Muhammad atau Hakikat Muhammad. Karenanya pengetahuan yang diterima Nabi Muhammad terus-menerus bertambah. Inilah misteri dari doa Nabi yang termasyhur, “Ya Allah tambahkan ilmu pengetahuan kepadaku.” Sebagai Logos, kecerdasan impersonal, yang menjadi dasar tatanan semesta, sudah barang tentu pengetahuan yang diterimanya tak pernah berhenti, terus bertambah, hingga akhir zaman.

Di dalam Nur Muhammad ini termuatal-a’yan Al-Mumkinah (entitas-entitas yang mungkin). Entitas yang mungkin ini akan menjadi aktual dalam bentuk alam empiris melalui perintah “kun”. Tetapi tujuan penciptaan belum tercapai hanya melalui alam, sebab alam bukan cermin yang bening bagi Allah untuk mengenal Diri-Nya sendiri. Di sinilah wajah Nur Muhammad yang kedua berperan, yakni sebagai hakikat kemanusiaan—haqiqat Al-Muhammadiyyah atau Insan Kamil.

Allah tidak secara langsung mengatur dunia, sebab Dzat-Nya adalah tanzih, tiada banding secara mutlak (transenden). Dia mengatur melalui Nur Muhammad, Logos. Jika Dzat-Nya turut campur dalam pengaturan alam yang penuh pertentangan, maka kalimatAllahu Ahad menjadi tidak berarti. Maka fungsi pengaturan berada dalam tahap wahidiyyahini, yakni tahap Haqiqat Al-Muhammadiyyah.Rububiyyah (penguasaan, pemeliharaan) menimbulkan kebutuhan adanya hamba dan sesuatu yang dipelihara (kosmos, alam), dan karenanya dibutuhkan penghambaan (ubudiyyah). Haqiqat Al-Muhammadiyyah mengalir dari nabi ke nabi sejak Adam sampai pada gilirannya akan terwujud dalam pribadi Muhammad yang disebut rasul dan hamba (abd)—Muhammad abduhu wa Rasullullah. Ketika Muhammad, setelah bertafakur sekian lama di gua, ia mencapai tahap keheningan di mana gelombang dirinya bertemu dengan gelombang Nur Muhammad, maka layar kesadarannya terbuka terang melebihi terangnya seribu bulan. Maka jadilah ia Rasul. Maka Rasul Muhammad adalah cahaya yang menerangi alam secara lembut dan bisa disaksikan, sebab terang cahaya itu dibandingkan dengan seribu bulan, bukan seribu matahari.

Dalam konteks ini secara simbolik “Rasul” adalah manifestasi yang lengkap dari tahapan manifestasi, yakni dari martabatwahdah ke martabat alam ajsaam (alam dunia, materi, sebab-akibat). Dilihat dari sudut pandang lain, rasul adalah “utusan” Tuhan yang menunjukkan jalan menuju cahaya atau kepada Tuhan. Karena merupakan manifestasi “lengkap dan sempurna” maka tidak dibutuhkan lagi sesuatu yang lain sesudahnya, dan jadilah dia disebut khatam(penutup)—”tak ada lagi nabi dan rasul setelah aku (Muhammad).”

Bagian kedua kalimat syahadat,Muhammad rasullullah, adalah deskripsi dari ciptaan. Muhammad adalah “barzakh” yang memperantarai manusia dengan Tuhan. Berbeda dengan bagian pertama syahadat,Laa ilaha illa Allah, yang menegaskan Keesaan dan karenanya eksklusivitas mutlak (tanzih), bagian kedua syahadat ini menunjukkan inklusivitas (tasybih), karena merupakan manifestasi dari Allah. Sebagai sebuah deskripsi dari manifestasi, syahadat kedua ini menggambarkan tiga hal sekaligus, yakni Prinsip Asal yang dimanifestasikan (Muhammad); manifestasi Prinsip (Rasul); dan Prinsip Asal itu sendiri (Allah). Dengan demikian, “Rasul” adalah penghubung “Dzat yang dimanifestasikan” dengan Dzat itu sendiri. Rasul menjadi perantara antara alam yang fana dengan Dzat Yang Kekal. Tanpa “Muhammad Rasullulah” dunia tidak akan eksis, sebab ketika dunia yang fanadihadapkan pada Yang Kekal, maka lenyaplah dunia itu. Menurut Syekh Al-Alawi, jika Rasul diletakkan di antara keduanya, maka dunia bisa terwujud, sebab Rasul secara internal adalah tajalli sempurna dari Allah, dan secara eksternal tercipta dari tanah liat yang berarti termasuk bagian dari alam. Jadinya, Rasul adalah “Utusan” manifestasi, yang mengisyaratkan “perwujudan” atau “turunnya” Tuhan dalam “bentuk manifestasi atau ayat-ayat” ke dunia, yang dengannya Dia dikenal. Kerasulan adalah alam kekuasaan (alam jabarut). Dengan demikian Muhammad Rasulullah adalah penegasan perpaduan Keesaan Dzat (Wujud), Sifat (shifaat) dan Tindakan (af’al). Karenanya, kata Imam Ar-Rabbani—seorang Syekh Tarekat Naqshabandi—dalam kerasulan, Rasul tidak hanya berhadapan dengan Allah saja, tetapi juga berhadapan dengan manusia (alam) pada saat ia berhadapan dengan Tuhan.

Pengangkatan Rasul, yang berarti “turunnya” Tuhan ke dunia, yakni “bersatunya” kesadaran Muhammad dengan Nur Muhammad, terjadi pada laylat Al-Qadr(Malam Kekuasaan), yang terang cahayanya melebihi seribu bulan. Allah dan Nabi Muhammad bertemu dalam “Rasul” yang dijabarkan dalam Risalah, atau Wahyu, yakni Al-Quran. Inilah cahaya petunjuk (Al-Huda) yang menerangi kegelapan alam, yang memisahkan (Al-Furqan) kebatilan atau kegelapan dengan kebenaran atau cahaya. Karena itu Al-Quran sesungguhnya adalah manifestasi “kehadiran penampakan” Allah di dunia ini. Sayyidina Ali karamallahu wajhahdalam Nahj Al-Balaghah mengatakan “Allah Yang Mahasuci menampakkan Diri kepada hamba-hamba-Nya dalam firman-Nya, hanya saja mereka tidak melihatnya.” Imam Ja’far, cucu Rasulullah saw, juga mengatakan, “Sesungguhnya Allah menampakkan Diri-Nya kepada hamba-hamba-Nya dalam Kitab-Nya, tetapi mereka tidak melihat.”

Di sisi lain, sebagai manusia yang mengandung unsur tanah dan air, Muhammad memperoleh sisi kemanusiaannya. Dia makan, minum dan menikah. Faktor ini amat penting karena menunjukkan bahwa walau Muhammad adalah manifestasi, atau tajallisempurna, insan kamil, dari Allah, tetap saja Muhammad bukanlah Allah. Atau, dengan kata lain, yang dimanifestasikan bukanlah Prinsip yang bermanifestasi, dan karenanya tidak ada persatuan antara manusia dan Tuhan dalam pengertian panteisme. Kedudukan manusia paling tinggi justru dalam realisasi penghambaannya yang paling sempurna, abd, “abdi”—gelar yang hanya disebut oleh Allah bagi Muhammad Saw.

Al-’abd adalah “Hamba” atau abdi yang sepenuhnya pasrah kepada Allah. Seorang abdhidup dalam kesadaran sebagai seorang abdi Allah. Abd dicirikan oleh keikhlasan. Karenanya, penghambaan sejati bukan lantaran kewajiban atau keterpaksaan. Dalam pengertian umum, kegembiraan seorang hamba adalah ketika dia dimerdekakan oleh tuannya. Tetapi ‘abd merasakan kegembiraan tatkala ia menjadi hamba (Allah).

Derajat ‘abd adalah derajat tertinggi yang bisa dicapai manusia, dan karena itu Allah menyandingkan kerasulan Nabi Muhammad Saw dengan ‘abd—”Tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah ‘hamba’ dan Rasul-Nya.” Ketika mengundang Rasulullah saw di malam mi’raj, Allah menyebutnya dengan gelar “hamba”—Mahasuci Allah yang memperjalankan hamba-Nya di kala malam(QS. 17:1)—dan ini sekaligus menunjukkan kebesaran kualitas ‘abd, sebab hanya ‘abd-Nya-lah yang berhak mendapat undangan langsung menemui-Nya di tempat di mana bahkan Malaikat Jibril pun terbakar sayap-sayapnya. Dalam tingkatan yang paripurna, hamba yang ingat akan menjadi yang diingat, yang mengetahui akan menjadi yang diketahui, dan yang melihat akan menjadi yang dilihat, yang menghendaki menjadi yang dikehendaki, dan yang mencintai menjadi yang dicintai, karena ia sudah fana pada Allah dan baqa dengan baqa-Nya, dan ia menghabiskan waktunya untuk memandang kebesaran dan keindahan-Nya terus-menerus, seakan-akan dirinya pupus, seakan dia adalah Dia (Allah). Ini adalah maqam seperti yang disebutkan dalam hadis Qudsi: … “(Aku) menjadi pendengarannya yang dengannya dia mendengar, penglihatannya yang dengannya dia melihat, menjadi tangannya yang dengannya dia memegang, menjadi kakinya yang dengannya dia berjalan, dan menjadi lidahnya yang dengannya dia bicara.” Jadi jelas bahwa derajat tertinggi adalah pada kehambaan, sebab hanya hamba sejatilah yang akan “naik” menuju Tuhannya. Dan pada sang hamba sejatilah Allah “turun” untuk menemuinya. Ini adalah misteri mi’raj.

Penurunan dan kenaikan, laylatul al-qadr dan laylat al-mi’raj, mempertemukan hamba dengan Tuhannya, melalui kewajiban yang ditetapkan pada saat pertemuan Nabi dengan Allah, yakni shalat. Setiap mukmin harus mengikuti jejak Rasulullah agar bisami’raj, sebab sekali lagi, hanya melalui Rasullullah sajalah, yakni prinsip “barzakh,” manusia bisa bertemu dengan Tuhannya. Rasul pernah mengatakan bahwa mi’raj-nya umat Muslim adalah shalat. Tanpa shalat, tidak ada mi’raj. Karenanya, shalat adalah wajib. Shalat pula yang membedakan Muhammad (dan umatnya) dengan kaum kafir.

ketika Muhammad diperintahkan shalat, maka ini artinya Allah menjadikan Muhammad sebagai hamba yang memohon (berdoa) dan Allah adalah menjadikan diri-Nya sebagai yang dimintai permohonan. Karena rasul adalah utusan dari Tuhan kepada manusia atau perantara, dan doa juga perantara atau “utusan” dari manusia kepada Tuhan dalam bentuk permohonan, maka rasul menjadi titik temu hubungan ini, yang berarti Rasul adalah doa itu sendiri, yakni ‘barzakh” atau pintu perantara antara manusia dengan Tuhan. Di sinilah terletak fungsi shalawat.

Dalam shalawat terkandung doa, pujian dan cinta. Karenanya, shalawat adalah salah satu jalan menuju cinta kepada rasul, yang pada tingkat tertinggi menyebabkan seseorang lebur dalam totalitas eksistensi, atau hakikat Muhammad, atau Nur Muhammad.

Shalawat adalah “berkah” yang biasanya disandingkan dengan kedamaian (salam). Shalawat karenanya berfungsi sebagai berkah dari Tuhan[5] untuk “menghidupkan” hati dan membersihkan hati[6] agar terserap dalam Nur Muhammad dan sekaligus sebagai kedamaian yang menenteramkan. Dengan demikian, shalawat menjadi pembuka pintu keterkabulan doa seseorang—seperti dikatakan dalam hadis, “Doa tidak akan naik ke langit tanpa melewati sebuah ‘pintu’ atau tirai. Jika doa disertai shalawat kepadaku maka doa akan bisa melewati tirai (yakni membuka pintu) itu dan masuklah doa itu ke langit, dan jika tidak (disertai shalawat) doa itu akan dikembalikan kepada pemohonnya.”

Shalawat yang diamalkan oleh Sufi dan terutama dalam tarekat-tarekat amat banyak macamnya—bisa mencapai ratusan. Imam Jazuli mengumpulkan sebagian di antaranya dalam kitabnya yang terkenal, Dala’il Khairat. Sebagian lafaz shalawat ini tidak dijumpai dalam hadis standar (sahih), dan karenanya sebagian fuqaha menyebut shalawat dari para Sufi adalah bidah. Ini tidak mengherankan karena para fuqaha, yang gagal, atau bahkan tidak mau melampaui sudut pandangnya sendiri, tidak mengakui kasyaf yang menjadi dasar dari bermacam-macam shalawat. Sebagian shalawat Sufi diperoleh dari ilham rabbani, atau kasyaf rabbani, atau dari mimpi yang benar (ru’ya as-shadiqah), di mana dalam kondisi itu para Sufi bertemu atau bermimpi bertemu dengan Nabi dan diajarkan lafaz shalawat tertentu dan disuruh untuk menyebarkannya. Karena itu susunan kata dalam shalawat Sufi bervariasi, dan sebagian besar mengandung kalimat yang indah, puitis, yang mengandung misteri dari hakikat Muhammad, Nur Muhammad, atau misteri fungsi kerasulan dan kenabian Muhammad pada umumnya.

Semua shalawat mengalirkan barakah kepada pembacanya sebab dengan shalawat seseorang “terhubung” dengan “Perbendaharaan Tersembunyi” yang kandungannya tiada batasnya, atau dengan kata lain, dengan shalawat seseorang berarti akan memperoleh berkah “kunci” dari Perbendaharaan Tersembunyi yang gaib sekaligus nyata (yakni dalam wujud Muhammad saw). Karenanya, dalam tradisi Sufi diyakini bahwa bacaan shalawat tertentu mempunyai fungsi dan faedah tertentu untuk mengeluarkan kandungan Perbendaharaan Tersembunyi sesuai dengan kandungan misteri yang ada dalam kalimat-kalimat bacaannya.

Adapun barang yang termasyhur bahwasanya dijadikan beberapa banyak alam ini daripada Nur Nabi kita s.a.w., maka yang zahir bagi hamba bahwasanya bukanlah dijadikan suku-suku nur itu akan alam, hanya dimulakan dia daripadanya dan dijadikan dia dengan sebabnya.

Oleh itu sebelum memberikan tafsiran-tafsiran yang entah apa-apa atau menolak mentah-mentah segala yang berkaitan dengan Nur Muhammad, baik dilihat dan dikaji tafsiran dan pandangan para ulama kita yang terdahulu. Dan jika pun tidak setuju, maka janganlah bersikap fanatik yang hanya mau benar sendiri dalam isu yang dapat dianggap sebagai khilaf yang diiktibar pada kalangan ulama, karena di samping terdapat ulama yang menolaknya, namun banyak juga ulama yang menerimanya. Jadi bertasamuhlah, jangan mudah menuduh syirik, karut dan khurafat.

Semoga Bermanfaat