Baca Juga

Kedudukan TAP MPR Di Dalam UU No. 12 Tahun 2011
Kedudukan TAP MPR
Kedudukan TAP MPR Di Dalam UU No. 12 Tahun 2011 - Pemberlakuaan UU No. 12 Tahun 2011 yang memasukkan kembali ketatapan MPR kedalam hierarki peraturan perundang-undangan tidak memberikan kemungkikan kepada MPR untuk dapat membentuk Ketetapan MPR yang baru, melainkan hanya mempertegas pemberlakuan Ketetapan MPR yang lama sebagai wujud pemberian legalitas kepada Ketetapan MPR yang masih berlaku, didalam hierarki peraturan perundang-undangan, TAP MPR memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan UU, Perpu, PP, Perpres dan Perda. Hal ini ditegaskan dalam pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. TAP MPR dapat dikatakan sebagai salah satu sumber hukum. Meskipun dalam Undang-undang sebelumnya, yakni Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, TAP MPR tidak dimasukkan dalam hierarki perundang-undang, bukan berarti keberadaan TAP MPR tidak diakui. Akan tetapi norma yang diatur dalam setiap TAP MPR sejak Tahun 1966 hingga Tahun 2002 tetap diakui sebagai sebuah produk hukum yang berlaku sepanjang tidak digantikan dengan Undang-undang formal yang ditetapkan setelahnya.

Dimasukkannya kembali TAP MPR dalam tata urutan perundang-undangan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan merupakan bentuk penegasan bahwa produk hukum yang dibuat berdasarkan TAP MPR, masih diakui dan berlaku secara sah dalam sistem perundang-undangan Indonesia. TAP MPR yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-udang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bisa djabarkan melalui penjelasan pasal tersebut yang mengatakan bahwa, “Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003”. Dalam TAP MPR Nomor I/MPR/2003, telah diputuskan yang mana saja TAP MPR(S) dari total 139 ketetapan sejak Tahun 1966 hingga 2002, yang masih berlaku dan tidak berlaku lagi.

Dalam TAP MPR Nomor I/MPR/2003 TAP MPR diberikan status hukum baru yang dikelompokkan ke dalam 6 (enam) pasal, antara lain :
  • Pasal 1 tentang Ketetapan MPR/MPRS yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (8 Ketetapan),
  • Pasal 2 tentang Ketetapan MPRS/MPR yang dinyatakan berlaku dengan ketentuan (3 Ketetapan),
  • Pasal 3 tentang Ketetapan MPRS/MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil pemilihan umum Tahun 2004 (8 Ketetapan),
  • Pasal 4 tentang Ketetapan MPRS/MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai terbentuknya UU (11 Ketetapan),
  • Pasal 5 tentang Ketetapan MPRS/MPR yang dinyatakan masih berlaku sampai ditetapkannya peraturan tata tertib yang baru oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia hasil pemilihan umum Tahun 2004 (5 Ketetapan),
  • Pasal 6 tentang Ketetapan MPRS/MPR yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik Karena bersifat final (enimalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan. (104 Ketetapan).
Berdasarkan pengelompokan di atas, maka TAP MPR yang masih dianggap berlaku tertuang dalam Pasal 2 dan Pasal 4, dengan total sebanyak 13 TAP MPR yang masih berlaku. TAP MPR yang masih berlaku tersebut, adalah :
  1. Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS.1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh Wilayah Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan larangan setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
  2. Ketetapan MPR No. XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.
  3. Ketetapan MPR No V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur.
  4. Ketetapan MPRS No. XXIX/MPRS/1966 tentang Pengangkatan Pahlawan Ampera. (dalam perkembangan terakhir telah terbentuk UU No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan).
  5. Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
  6. Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam NKRI.
  7. Ketetapan MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional.
  8. Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Indonesia.
  9. Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri.
  10. Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
  11. Ketetapan MPR No. VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan.
  12. Ketetapan MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN.
  13. Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolahan Sumber Daya Alam.
Ketiga belas TAP MPR inilah yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-udang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dengan pengelompokan 11 TAP MPR yang sudah tidak berlaku akibat telah dibentukknya UU (Pasal 4 TAP MPR Nomor I/MPR/2003) dan 3 TAP MPR yang masih berlaku hingga saat ini (Pasal 2 TAP MPR Nomor I/MPR/2003). Adapun Ketetapan MPR No V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur, secara otomatis tidak berlaku lagi akibat norma yang diatur didalamnya sudah terlaksana. Dengan demikian, sisa 2 TAP MPR yang masih berlaku hingga saat ini akibat status hukumnya yang tidak dicabut atau diganti melalui UU.

Menurut stuffenbau theory (teori hirarki peraturan perundang-undangan), secara umum dikelompokkan kedalam empat tingkat yaitu :
  • pertama, adalah ketentuan yang memuat norma dasar (grandnorm) yaitu UUD; 
  • kedua adalah ketentuan legislatif yang menjabarkan norma dasar yaitu Undang-Undang; 
  • ketiga adalah ketentuan yang dibentuk oleh pemerintah sebagai aturan pelaksanaan dari undang-undang yaitu Peraturan Pemerintah (implementation legislation); dan 
  • keempat adalah ketentuan organik untuk mengoperasionalkan secara rinci Peraturan Pemerintah yaitu antara lain: Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, dan Peraturan Daerah. 
Untuk melihat kedudukan TAP MPR dalam sistem perundang-undangan Indonesia, kita harus melihat pengembangan teori Hans Kelsen yang dikembangkan oleh Hans Nawiasky melalui teori yang disebut dengan “theorie von stufenufbau der rechtsordnung”. Teori ini memberikan penjelasan susunan norma sebagai berikut :
  1. Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm);
  2. Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz);
  3. Undang-undang formal (formell gesetz); dan
  4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en autonome satzung).
Berdasarkan teori Hans Nawiasky tersebut, A. Hamid S. Attamimi mencoba mengaplikasikannya kedalam struktur hierarki perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan teori Nawiasky tersebut, maka tata urutan perundang-undangan di Indonesi adalah sebagai berikut :
  1. Staatsfundamentalnorm : Pancasila (Pembukaan UUD 1945).
  2. Staatsgrundgesetz : Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan.
  3. Formell gesetz : Undang-Undang.
  4. Verordnung en Autonome Satzung : Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.
Secara garis besar, TAP MPR dikategorikan sebagai aturan dasar Negara (staatsgrundgesetz) atau dapat juga disebut sebagai norma dasar (grundnorm). Akan tetapi kategorisasi yang dilakukan oleh A. Hamid S. Attamimi ini dilakukan disaat kedudukan MPR masih sebagai lembaga tertinggi Negara atau sebelum perubahan UUD 1945. 

Kedudukan TAP MPR sebelum perubahan UUD, memang menjadi salah satu produk hukum yang berada setingkat dengan UUD. Hal tersebut mengacu kepada kewenangan dan kedudukan MPR sebagai lembaga perwujudan kedaulatan rakyat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, pada era reformasi Ketetapan dianggap sebagai perpanjangan tangan dari kekuasaan untuk membuat peraturan-peraturan tertentu yang menguntungkan atau meligitimasi kepentingan kekuasaan. Sehingga pada Tahun 2004 melalui UU N0. 10 Tahun 2004 menghapuskan Tap MPR sebagai salah satu Peraturan Perundang-Undangan yang dimaksudkan di dalam UU tersebut, namun hal ini menimbulkan ketidakpastian legitimasi TAP MPR yang masih berlaku sehingga pada perubahan kedua UU No. 10 Tahun 2004 yaitu UU No 12 Tahun 2011 memasukkan kembali TAP MPR kedalam hierarki Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengakibatkan TAP MPR secara otomatis (ex-officio) menjadi rujukan dalam pembentukan dan penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya. Dalam hal ini UU/Perpu, PP. Perpres, dan Perda.

Sumber Hukum :

  1. Undang-Undang Dasar 1945,
  2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
  3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
  4. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor : I/MPR/2003 Tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara

Referensi :

  • Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik Dalam Rangka Pembuatan Undang-Undang Berkelanjutan, Disertasi, Surabaya: Universitas Airlangga, 2007, hlm. 44-45
  • A. Hamid A. Attamimi, 1990. Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I–Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta. Hal. 287.