- Pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pembuatan peraturan perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.
- Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan di bentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
- Program legislasi nasional yang selanjutnya disebut prolegna adalah instrumen perencanaan program pembentukan peraturan daerah provinsi atau peraturan daerah kabupaten/kota yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis.
- Program legislasi daerah yang disebut dengan progleda adalah instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang yang disusun secara terencana terpadu dan sistematis.
- Pengundangan adalah penempatan peraturan perundang-undangan dalam lembaga negara Republik Indonesia, berita negara Republik Indonesia, tambahan berita negara Republik Indonesia, lembaga daerah, tambahan lembaran daerah atau berita daerah.
- Materi muatan peraturan perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan jenis, fungsi dan hierarki peraturan perundang-undangan.
- Peratran perundang-undangan dalam wujud peraturan tertulis,
- Peraturan perundang-undangan dibentuk, ditetapkan, dan di keluarkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang baik di tingkat pusat maupun didaerah,
- Peraturan perundang-undangan berisi aturan pola tingkah laku atau norma hukum,
- Peraturan perundang-undangan mengikat secara umum dan menyeluruh.
A. Pengertian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
- Adanya keadaan yaitu kebutuhanmendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
- Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
- Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
B. Fungsi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
- Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang tegas-tegas menyebutnya,
- Pengaturan lebih lanjut secara umum aturan dasar lainnya dalam Batang Tubuh UUD 1945,
- Pengaturan lebih lanjut dalam ketetapan MPR yang tegas-tegas menyebutnya,
- Pengaturan di bidang materi konstitusi.
- Perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut;
- DPR dapat menerima atau menolak Perpu dengan tidak mengadakan perubahan;
- Jika ditolak DPR Perpu tersebut harus dicabut.
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
- Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
- Peraturan Pemerintah;
- Peraturan Presiden;
- Peraturan Daerah Provinsi; dan
- Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
C. Proses Penyususnan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
- PERPU harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut (persidangan pertama DPR setelah PERPU ditetapkan oleh Presiden);
- Pengajuan PERPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan RUU tentang penetapan PERPU menjadi Undang-Undang;
- DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap PERPU;
- Dalam hal PERPU mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, PERPU tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang;
- Dalam hal PERPU tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, PERPU tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku;
- Dalam hal PERPU harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (5), DPR atau Presiden mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan PERPU;
- RUU tentang Pencabutan PERPU sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mengatur segala akibat hukum dari pencabutan PERPU;
- RUU tentang Pencabutan PERPU sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan menjadi Undang-Undang tentang Pencabutan PERPU dalam rapat paripurna yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
D. Tata Cara Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
- Peraturan pemerintah pengganti undang-undang harus diajukan pengajuan ke DPR dalam persidangan berikut.
- Pengjuan peraturan pemerintah pengganti undang-undang dilakukan dalam bentuk pengajuan rancangan undang-undang tentang penetapan perpu menjai undang-undang.
- Dalam hal perpu ditolak DPR maka perpu tersebut tidak berlaku.
- Dalam hal perpu ditolak DPR maka Presiden mengajukan RUU tentang pencabutan perpu.
1. Penolakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Oleh DPR Dan Akibat Hukumnya
Baca Juga
2. Menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
- Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
- Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
- Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
- Peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya (Pasal 5 Ayat (2) UUD 1945), dan
- Peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang (Pasal 22 ayat (1)).
3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Tidak Sederajat Dengan Undang-Undang (UU)
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan mengelaborasi lebih lanjut ketentuan dalam Pasal 22 UUD 1945 di dalam Pasal 25, yang berbunyi :
- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
- Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan rancangan undang-undang tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang.
- Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut tidak berlaku.
- Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, maka Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut.
Dengan demikian dapat kita lihat bahwa PERPU itu sesungguhnya tidak sederajat dengan UU dan oleh karenanya tidak dapat diajukan pengujian ke MK. Bahwa PERPU ditempatkan sederajat dengan UU dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan menunjukkan adanya kebertentangan antara UU tersebut dengan UUD 1945 dan hal itu perlu diuji.
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Bersifat Provisional
Suatu PERPU bersifat sementara sampai DPR menyetujui dan jika menyetujui maka selanjutnya membentuk UU yang menetapkan PERPU sebagai UU. Jika ditolak maka PERPU itu harus tidak berlaku. Persetujuan DPR itu harus diberikan pada masa persidangan berikutnya dari DPR. Dalam Penjelasan Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan disebutkan “Yang dimaksud dengan "persidangan yang berikut" adalah masa persidangan Dewan Perwakilan Rakyat yang hanya diantarai satu masa reses.” Ini berarti bahwa setelah hal ihwal kegentingan yang memaksa itu berakhir maka, PERPU itu harus diajukan ke DPR dalam bentuk RUU pada masa sidang berikutnya. Penjelasan Pasal 25 ayat (1) menegaskan bahwa hanya diantarai satu masa reses.Jadi waktu antara diundangkannya suatu PERPU dengan pengajuan untuk persetujuan ke DPR tidak terlalu lama. Atau dengan kata lain kesementaraan itu ada batasannya waktunya dan waktu itu begitu singkat. Dalam kondisi sekarang, PERPU No. 4 tahun 2009 yang menjadi persoalan seyogyanya sudah harus diajukan kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan DPR. Jika disetujui maka akan jadi UU dan jika ditolak maka PERPU itu tidak berlaku lagi.
E. Uji Materi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Kepada Mahkama Konstitusi
Tugas dan Wewenang dari Mahkamah Konstusi menurut UUD 1945 adalah :- Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang keputusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewewenangan lembaga Negara yang kewewenangannya diberikan oleh UUD1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum.
- Wajib memberi keputusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.
- Menguji Undang-Undang terhadap UUD 19451.
- Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara 2. yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
- Memutus pembubaran partai politik.3.
- Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
Namun, karena ’lisan’ dan argumen sang Ketua itu tak mengikat secara hukum, maka tak ada larangan bagi pihak-pihak yang mengajukan permohonan uji materi Perpu ke MK. Setidaknya, dua Perpu sekarang sedang ’parkir’ di MK menanti diputus. Keduanya adalah Perpu Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Perpu Nomor 4 tahun 2008 Tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK).
1. Koridor Sistem Konstitusi
Tentang Perpu, yang perlu diperhatikan pertama kali sebelum yang lainnya adalah bagaimana UUD 1945 mengaturnya. Artinya, menyoal Perpu tentu harus meletakkannya dalam koridor sistem yang dibangun dalam UUD 1945. Ada tiga hal sangat penting yang perlu dicermati dalam hal ini.- Pertama, dalam UUD 1945, Perpu diatur dalam Pasal 22 yang diletakkan pada Bab VII tentang DPR. Konstruksi yang demikian harus dipahami betul mengingat ketentuan Pasal 22 erat hubungannya dengan kewenangan DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif. Pasal 22 UUD 1945 berisikan tiga hal, yaitu 1). pemberian kewenangan kepada Presiden untuk membuat Perpu, 2). Kewenangan itu hanya digunakan apabila terdapat keadaan genting dan memaksa, 3). Perpu harus mendapat persetujuan DPR pada persidangan berikutnya.
- Kedua, UUD 1945 membedakan dengan jelas Perpu dengan Peraturan Pemerintah (PP). PP sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) dibuat untuk tujuan menjalankan undang-undang. Sementara, Perpu yang diatur dalam Bab DPR materi muatannya seperti yang diatur dalam undang-undang, bukan untuk melaksanakan undang-undang. Karenanya, jika terjadi kekosongan undang-undang, entah oleh sebab apa sehingga materi undang-undang itu belum diproses untuk menjadi undang-undang sebagaimana tata cara yang berlaku, maka Pasal 22 menyediakan pranata khusus yaitu memberikan kewenangan kepada Presiden untuk membuat Peraturan Pemerintah (sebagai) Pengganti Undang-Undang. Dalam hal ini, yang terpenting ialah adanya situasi dan kondisi mendesak yang membutuhkan aturan (undang-undang), sementara proses normal pembuatan undang-undang memerlukan waktu lama sehingga kebutuhan akan hukum yang mendesak itu tak dapat diatasi. Sederhananya, Perpu diperlu kan apabila memenuhi tiga parameter, yakni :
- Ada keadaan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang,
- Terjadi kekosongan hukum karena undang-undang yang dibutuhkan untuk itu belum ada,
- Kekosongan hukum tidak teratasi jika harus menempuh prosedur legislasi biasa yang perlu waktu lama sedangkan keadaan mendesak perlu cepat mendapatkan kepastian untuk diselesaikan.
- Ketiga, pengertian kegentingan memaksa dalam Pasal 22 ayat (1) tak bisa dimaknai hanya dengan mengkaitkannya dengan adanya keadaan bahaya sebagaimana dimaksud Pasal 12 UUD 1945. Keadaan bahaya memang dapat menyebabkan proses legislasi normal tidak dapat dilaksanakan, tetapi itu bukan satu-satunya penyebab timbulnya kegentingan memaksa.
2. Dapat Diuji
Berdasarkan dan berkutat pada sistem konstitusi di atas, Pasal 22 UUD 1945 yang berbunyi “Dalam keadaan kegentingan memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang" harus dimaknai sebagai berikut.- Pertama, Peraturan pemerintah pada Pasal itu adalah sebagai pengganti undang-undang. Artinya, materi yang diatur dalam peraturan pemerintah itu seharusnya diatur dalam wadah undang-undang. Tetapi karena kegentingan memaksa, UUD 1945 memberikan hak kepada Presiden untuk menetapkannya, bukan kepada DPR. Kenapa bukan DPR? Karena apabila diserahkan ke DPR, proses dan mekanisme pengambilan keputusannya akan memakan waktu lama mengingat diperlukannya rapat-rapat DPR dengan berbagai tingkatan. Sehingga, kebutuhan hukum secara cepat jelas tak dimungkinkan.
- Kedua, frase ”Presiden berhak” pada Pasal 22 ayat (1) mengesankan adanya subyektifitas dan tergantung sepenuhnya pada Presiden dalam hal pembuatan Perpu. Memang, pembuatan Perpu di tangan Presiden yang bergantung pada penilaian subyektifnya. Namun, itu tidak berarti penilaian subyektif itu bersifat absolut dan tanpa dilandasi hal mendasar. Penilaian subyektif Presiden itu harus didasarkan pada keadaan obyektif berupa terpenuhinya tiga parameter adanya kegentingan memaksa.
- Status hukum baru,
- Hubungan hukum baru,
- Akibat hukum baru. Norma hukum lahir sejak Perpu disahkan.
Oleh karena keberadaannya yang melahirkan norma hukum dengan kekuatan setara undang-undang itulah maka sudah seharusnya Perpu dapat dimohonkan untuk diuji materi di MK. Singkat cerita, MK mestinya berwenang menguji Perpu terhadap UUD 1945 sebelum adanya persetujuan atau penolakan oleh DPR. Untuk Perpu pasca persetujuan DPR tentu saja MK berwenang karena Perpu telah menjadi UU.
Terhadap nasib kedua Perpu, memang belum terbaca indikasinya. Yang pasti, putusan atas perkara itu adalah preseden. Tak perlu sampai jauh pada isi putusan MK apakah Perpu bertentangan atau tidak dengan UUD 1945, sebab ketegasan yang dinyatakan dalam putusan bahwa MK berwenang menguji Perpu sudah merupakan ‘pahala’ besar bagi rakyat negeri ini.
3. Hak Subyektif “Terbatas” Presiden
“Keberanian” Presiden SBY mengeluarkan Perpu tidak lepas dari perdebatan tentang subyektifitas presiden dalam menafsirkan “hal kegentingan memaksa” yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945. Penafsiran subyektif Presiden dalam pasal 22 harus dibedakan dengan penafsiran obyektif yang diatur dalam Pasal 12 UUD 1945. Dalam kondisi bahaya atau tidak normal, UUD Negara RI Tahun 1945 memberikan kewenangan kepada presiden untuk melakukan tindakan khusus. Tindakan khusus yang diberikan oleh UUD 1945 diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 22. Pasal 12 menyebutkan Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang. UUD 1945 dengan tergas mengamanatkan adanya undang-undang yang mengatur keadaan bahaya yang saat ini diatur lebih lanjut dalam UU (Prp) No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Terhadap keadaan bahaya yang diatur dalam UU (Prp) No. 23 Tahun 1959 ini, Presiden hanya dapat menafsirkan secara obyektif. Dalam hukum tata negara tidak tertulis dikenal dengan doktrin noodstaatsrecht.Menurut Harun Al Rasyid (dalam Kleden & Waluyo, Ed., 1981: 76-77 dan 105), dalam noodstaatsrecht, undang-undang keadaan bahaya selalu ada, pelaksanaan berlakunya keadaan bahaya dituangkan dalam keputusan presiden. Noodstaatsrecht harus dibedakan dari staatsnoodrecht. Menurut doktrin staatnoodrecht, jika negara dalam keadaan darurat kepala negara boleh bertindak apapun bahkan melanggar undang-undang dasar sekalipun demi untuk menyelamatkan negara. Staatnoodrecht merupakan hak darurat negara, bukan hukum. Di Indonesia, Dekrit Presiden 5 Juli 1949 yang menetapkan berlakunya kembali UUD 1945, menurut Prof. Wiryono didasarkan pada doktrin staatnoodrecht. Mahfud MD pembenaran dekrit tidak hanya didasarkan pada staatnoodrecht tetapi juga berdasarkan pada prinsip salus populis supreme lex (keselamatan rakyat adalah dasar hukum tertinggi). Akan tetapi, menurut M. Hatta, Prawoto Mangkusasmito (dalam Mahfud MD: 2001: 136) serta Yusril Ihza Mahendra (2001) yang menyetujui pendapat Prof. Logeman, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah sebuah revolusi hukum di bidang ketatanegaraan.
Menelisik ke belakang, ketentuan Pasal 22 (dan Pasal 12) merupakan teks asli UUD 1945 yang tidak diamandemen. Penjelasan Pasal 22 UUD 1945 menerangkan bahwa, Pasal ini mengenai noodverordeningsrecht Presiden. Aturan sebagai ini memang perlu diadakan agar supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Meskipun demikian, pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, peraturan pemerintah dalam pasal ini, yang kekuatannya sama dengan undang-undang harus disahkan pula oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Indrianto Seno Adji (2002) mengatakan, dalam Hukum Tata Negara dikenal asas hukum darurat untuk kondisi darurat atau abnormale recht voor abnormale tijden. Asas ini kemudian menjadi hak prerogatif presiden seperti dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Menurut Jimly Ashiddiqie (2006: 80-85), Perpu sebagai emergency legislation yang didasarkan pada alasan inner nootstand (keadaan darurat yang bersifat internal) dalam keadaan :
- mendesak dari segi substansi, dan
- genting dari segi waktunya.
Tentang muatan dan cakupan Perpu sendiri, Jimly Ashiddiqie membenarkan pendapat Bagir Manan, bahwa sifat inner notstand sebagai alasan pokok hanya dapat dijadikan alasan ditetapkannya Perpu sepanjang berkaitan dengan kepentingan internal pemerintahan yang memerlukan dukungan payung hukum setingkat undang-undang. Beranjak dari hal-hal tersebut di atas, jelas bahwa Presiden mempunyai keterbatasan dalam menggunakan hak subyektifnya dalam mengeluarkan perpu. Presiden hanya bisa menggunakan haknya sepanjang berkaitan dengan kepentingan internal pemerintahan. perlu ditegaskan bahwa ketentuan UUD 1945 tentang hak presiden menafsirankan keadaan darurat dan kegetingan memaksa bukan merupakan hak tanpa batas. Hak mengeluarkan perpu (atau bahkan Dekrit) tanpa batas akan menjadikan bangsa Indonesia berjalan mundur.
Mahkamah Konstitusi berhak dan berwenang untuk melakukan pengujian Perputerhadap Undang-Undang Dasar 1945. Kesimpulan tersebut dilatar belakangi oleh sudut perspektif dalam menginterprestasikan hukum secara subyektif.Sebagai negara hukum, sedianya tidak hanya bersandarkan pada konsep hukumtertulis sebagaimana diketahui Mahkamah Konstitusi tidak berhak menguji Perpudengan alasan tidak ditemukan pengaturan dalam UUD 1945, namun jugamemperhatikan sumber hukum lainnya seperti asas-asas hukum, prinsip Hak Asasi Manusia dan kepentingan sebagian besar masyarakat. Dengan memperhatikan pluralisme sumber hukum tersebut, suatu produk konstitusi dapat senantiasa bertahan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat.Diperlukannya pengujian adalalah untuk :
- Menghindari penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power);
- Menghindari kekakuan hukum; dan
- Menghindari kerugian yang dapat berdampak luas pada masyarakat.
Dasar Hukum :
- Undang-Undang Dasar 1945.
- Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
- Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan
- Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.
- Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009
Referensi :
- http://myilmulintashukum.blogspot.co.id/2015/09/pengertian-peraturan-perundang-undangan.html
- http://myilmulintashukum.blogspot.co.id/2015/10/pengertian-perpu.html
- http://myilmulintashukum.blogspot.co.id/2015/09/perundang-undangan-statue.html
- http://myilmulintashukum.blogspot.co.id/2015/10/fungsi-peraturan-pemerintah-pengganti.html
- Kleden & Waluyo, Ed., 1981: 76-77 dan 105
- Mahfud MD: 2001: 136
- Jimly Ashiddiqie (2006: 80-85)
- http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b7bb8eba552c/penerbitan-perpu-akan-dikontrol
- http://ginta-jasmine.blogspot.com/2013/05/proses-pembuatan-peraturan-pemerintah.html