Baca Juga

Akuntabilitas Instansi Pemerintah Dalam Sistem Administrasi Negara 
Dengan semakin maju dan terbukanya sistem informasi dewasa ini, isu-isu atau berita apa pun semakin mudah diketahui oleh masyarakat di sudut-sudut terpencil bahkan di seantero dunia. Isu-isu tersebut dapat berupa persoalan kehidupan manusia sendiri, lingkungan, sosial, politik, ekonomi, atau yang berkatian dengan masyarakat (publik), dan sebagainya. 

Isu-isu kemasyarakatan yang berhubungan dengan kepentingan publik umumnya menjadi isu yang selalu mendapat perhatian masyarakat, karena sifatnya yang berhubungan langsung dengan kepentingan manusia sebagai bagian dari masyarakat (publik). Misalnya, tentang buruknya pelayanan dari instansi pemerintah. Untuk Indonesia buruknya pelayanan pemerintah terhadap publik sudah terkenal di dunia (Indonesia termasuk negara dengan peringkat korupsi No. 3 di dunia). Menurut Komisi Ombudsman Nasional periode Januari-Juli 2005, kasus pelanggaran layanan publik 54% di antaranya dilakukan oleh pejabat publik dan penegak hukum. Selain itu, hal yang paling banyak dikeluhkan masyarakat adalah penyimpangan prosedur, tindakan tidak adil dari pejabat tertentu, dan melalaikan kewajiban.

Berdasarkan permasalahan di atas, maka pada web suplemen ini akan dibahas mengenai akuntabilitas kinerja instansi pemerintah dalam sistem administrasi negara, melalui pembahasan:
  • Aturan-aturan yang mendukung terselenggaranya pemerintahan yang baik
  • Kondisi administrasi negara saat ini
  • Operasionalisasi akuntabilitas dalam sistem administrasi pemerintahan
  • Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi akuntabilitas
  • Faktor-faktor yang menghambat terlaksananya akuntabilitas
  • Partisipasi Publik dalam Memantau Kinerja Instansi Pemerintah

Aturan-aturan yang mendukung terselenggaranya pemerintahan yang baik
Mengemukanya tuntutan dari masyarakat terhadap kualitas layanan publik yang disampaikan secara langsung atau pun tidak langsung, telah membuat pemerintah concern terhadap tuntutan tersebut. Respon pemerintah diwujudkan melalui TAP MPR No.XI.MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Pada masa Kabinet Reformasi/pemerintahan BJ Habibie, juga telah ada upaya pemerintah untuk mengadakan reformasi administrasi publik dengan dikeluarkan Inpres No.7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Inpres ini diinstruksikan kepada semua pejabat pemerintah di tingkat eselon II ke atas untuk membuat perencanaan strategis dan laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah.

Beberapa peraturan perundangan yang telah dihasilkan selama ini, dengan dua contoh yang telah dikemukakan di atas, kesemuanya adalah upaya yang dilakukan untuk menciptakan suatu tatanan kepemerintahan yang baik, melalui administrasi pemerintahan yang ditunjang konsep transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Penerapan konsep ini akan membawa konsekuensi terhadap perlunya perubahan di beberapa segmen atau subsistem administrasi negara. Misalnya perbaikan pada sistem pertanggungjawaban. Di beberapa daerah, DPRD dan masyarakat menuntut keterbukaan dan akuntabilitas yang penuh terhadap manajemen pemerintahan di daerah. Akuntabilitas tersebut dituntut agar pengelolaan berbagai program benar-benar efektif. Jadi tidak hanya output dari program saja, akan tetapi juga outcome atau bahkan dampak positif dari program itu harus dapat diwujudkan. Ini berarti bahwa kinerja instansi pemerintah dalam mengelola program atau dalam menetapkan kebijakan-kebijakannya serta melakukan pelayanan-pelayanan harus dapat diukur. Oleh karena itu, Inpres No. 7/1999 sangat relevan dalam usaha untuk memenuhi tuntutan itu, yaitu instansi pemerintah harus menyediakan sistem pengukuran kinerja agar dapat memantau, mengendalikan, dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan-kebijakan dan program-program. Dengan demikian, semua instansi pemerintah harus membangun sistem itu dan mengimplementasikannya secara bertahap dan mengembangkan terus menerus agar dapat digunakan untuk mengelola kinerja instansinya sendiri.

Dalam rangka mentransform instansi pemerintah yang tanpa akuntabilitas menjadi instansi pemerintah yang memiliki akuntabilitas perlu perubahan-perubahan mendasar. Perubahan itu antara lain, perubahan budaya kerja dan budaya organisasi, metode, dan teknik pengelolaan program dan kegiatan, struktur organisasi dan kelembagaan, serta perubahan-perubahan lainnya yang perlu dilakukan guna mencapai tujuan-tujuan strategis yang telah ditetapkan.

Kondisi administrasi negara saat ini
Kondisi administrasi negara Indonesia saat ini, belum sepenuhnya berorientasi pada kepentingan publik. Hal ini dapat kita nilai dari banyaknya kritik yang dialamatkan pada instansi pemerintah, entah itu mengenai manajemennya, pelayanannya, ataupun organisasinya. Semua kritik dan keluhan yang disampaikan kebanyakan bermuara pada aparatur yang bertugas, mulai dari tingkat atas sampai bawah. 

Di tengah era keterbukaan, arus informasi yang beredar dan masuk dalam arena publik, akan begitu cepat mendapat respon dari masyarakat, baik positif atau pun negatif. Respon positif, merupakan ukuran keberhasilan administrasi publik dalam menjalankan kinerjanya, respon negatif melambangkan ketidakberhasilan administrasi publik dalam menjalankan amanat yang diembannya. Respon-respon yang disampaikan oleh publik, dalam sekejap dapat beredar di mana-mana, entah di surat kabar, televisi, radio, atau pun alat komunikasi lain seperti handphone misalnya. Sehingga kesalahan ataupun ketidaknyamanan yang dirasakan rakyat akibat kinerja yang buruk dari intansi pemerintah (administrator negara), dalam sekejap dapat beredar di seluruh Indonesia, bahkan mungkin seantero jagad. Adanya peringkat Indonesia sebagai negara terkorup no.4 di dunia membuktikan hal itu. 

Menurut Arie Soelendro, tanda-tanda yang memperlihatkan kurang cakapnya administrator negara dalam menjalankan tugasnya, antara lain:
1. terjadinya tingkat korupsi yang tinggi
2. merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap instansi pemerintah
3. ketiadaan good governance
4. adanya instansi pemerintah dengan programnya yang tidak beroperasi secara efisien dan efektif
5. ketertinggalan di bidang ekonomi

Selanjutnya Arie Soelendro mengatakan, ada dua faktor penting yang terkait dengan kondisi administrasi negara saat ini. Pertama, faktor sistem pemerintahan. Sistem pemerintahan menyangkut tatanan, elemen-elemen dari sistem administrasi, prosedur atau mekanisme kerja, peralatan, sarana dan prasarana pelayanan publik. Pengembangan sistem administrasi perlu mendapat perhatian yang besar. Hal ini disebabkan begitu pentingnya pembangunan dan pengembangan sistem, baik dari segi kelembagaannya, prosedur, mekanisme koordinasi dan sinkronisasi, yang harus ditujukan pada pembangunan tata kepemerintahan yang baik. Oleh karena itu, pembangunan sistem administrasi baik dalam skala mikro maupun makro perlu diarahkan pada terciptanya good governance. Sejalan dengan itu, perbaikan administrasi negara tidak lepas dari perbaikan di bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya. Semua prasyarat yang harus dipenuhi untuk menciptakan kepemerintahan yang baik harus diwujudkan. Prasyarat itu antara lain, penciptaan iklim yang memprioritaskan mekanisme pasar yang berkeadilan, kepastian hukum, pemakaian praktek-praktek yang terbaik di bidang administrasi, menyediakan sistem insentif yang sepadan agar mekanisme pasar dapat berjalan dengan sehat, serta membuka partisipasi publik dalam merumuskan kebijakan public.

Kedua, faktor manusianya sebagai pelaku yang menjalankan sistem administrasi tersebut. Bertahun-tahun lamanya pendekatan yang dipakai dalam sistem administrasi pemerintahan adalah command and control, perencanaan terpusat, kewenangan dan pembagian kekuasaan yang juga terpusat, serta budaya pelaku pejabat pemerintah yang lebih superior terhadap masyarakat yang dilayani. Walaupun sudah banyak anjuran dan himbauan dari ara pejabat tinggi pemerintahan bahwa pejabat pemerintah dan pegawai negeri adalah abdi negara, namun demikian ternyata tidak mudah untuk mengubah dengan cepat pejabat pemerintah dan pegawai negeri untuk supaya benar-benar berorientasi melayani masyarakat. Jika mungkin bahkan lebih jauh lagi instansi pemerintah bukan hanya melayani saja tetapi lebih memberi kewenangan kepada masyarakat untuk mengatur dan menolong dirinya sendiri.

Usaha-usaha dalam menciptakan salah satu fungsi administrasi publik sebagai suatu jenis jasa pelayanan yang berorientasikan kepada pasar perlu diperkenalkan. Iklim yang memungkinkan pelayanan yang dilakukan oleh suatu instansi pemerintah bersaing dengan pelayanan yang dilakukan swasta juga perlu diciptakan. Usaha-usaha ini memang masih dianggap sebagai ancaman bagi para pegawai negeri dan pejabat pemerintahan, dari pada sebagai peluang perbaikan kondisi administrasi pemerintahan saat ini. Kebijakan yang telah digariskan oleh Presiden dalam berbagai kesempatan bahwa diperlukan peran masyarakat yang lebih besar dalam melakukan pembangunan perlu didukung oleh semua pihak. Kebijakan realokasi sumber daya manusia dan sumber daya lainnnya untuk menciptakan kondisi pasar yang sehat agaknya perlu mendapat dukungan dari semua pihak.

Sistem insentif yang sepadan dan pengegakan hukum yang jelas sehingga mewujudkan kepastian hukum dan rasa keadilan perlu segera dilakukan sesuai dengan kemampuan kita. Sistem insentif yang sepadan ini akan menumbuhkan kader-kader pegawai dan pejabat pemerintahan yang profesional. Sedangkan kepastian hukum akan membuka mata dan telinga semua orang bahwa perlakuan terhadap pelanggaran hukum dan kejahatan telah jelas. Sehingga orang yang salah akan pasti dihukum, dan orang yang bekerja baik akan mendapat penghargaan.

Berdasarkan hasil riset di negara maju para ahli memperkirakan bahwa pembangunan sistem harus merupakan usaha yang lebih besar yaitu sekitar 85% sedangkan pembangunan unsur manusianya 15% saja. Angka-angka itu tidaklah penting, yang lebih penting lagi adalah bahwa perbaikan-perbaikan sistem perlu mendapat porsi yang besar dengan tidak mengabaikan perbaikan faktor manusianya.

Operasionalisasi akuntabilitas dalam sistem administrasi pemerintahan
Ketertinggalan sistem administrasi negara selama ini dianggap sebagai salah satu penyebab kendala pembangunan. Dalam rangka menciptakan iklim yang menunjang untuk melancarkan pembangunan di berbagai sektor, pemerintah berusaha saling mengisi, dan saling melengkapi dalam satu kesatuan langkah dengan mengadakan kebijakan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dan dapat dipercaya, yaitu dengan dikeluarkannya Inpres No.7 Tahun 1999 yang berisi peningkatan sistem administasi pemerintahan dengan pembuatan laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah oleh setiap instansi pemerintah atau unit kerja.

Dengan dikeluarkannya UU No.22 Tahun 1999, perihal otonomi daerah yang mengharuskan pemerintah daerah baik di tingkat kabupaten, kota ataupun tingkat propinsi harus bisa mengelola daerahnya masing-masing baik di dalam pencarian dana maupun pemanfaatan dana tersebut. Demikian halnya pemerintah pusat baik di tingkat departemen, menteri negara, maupun lembaga pemerintah lainnya harus bisa mengelola dan mempertanggungjawabkan apa yang dilakukan di dalam bentuk laporan akuntabilitas kinerja.

Dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan negara Indonesia, UUD 1945 beserta kesiapan rancangan perubahannya agar sejalan dengan perkembangan kebutuhan bangsa, dinamika dan tuntutan reformasi dengan tetap memelihara kesatuan persatuan bangsa serta sesuai dengan jiwa dan semangat pembukaan UUD 1945. UUD 1945 telah mengatur fungsi lembaga negara. 

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Implementasi Akuntabilitas
Lingkungan yang mempengaruhi akuntabilitas suatu entitas meliputi lingkungan internal dan eksternal yang merupakan faktor-faktor yang membentuk, memperkuat, atau memperlemah efektifitas pertanggungjawaban entitas atau wewenang dan tanggung jawab yang dilimpahkan kepadanya. Di antara faktor-faktor yang relevan dengan akuntabilitas instansi pemerintah antara lain meliputi:
a. falsafah dan konstitusi negara
b. tujuan sasaran pembangunan nasional
c. ilmu pengetahuan dan teknologi
d. ideology politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
e. Ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur akuntabilitas serta penegakan hukum yang memadai
f. Tingkat keterbukaan pengelolaan
g. Sistem manajemen birokrasi
h. Misi, tugas pokok dan fungsi, serta program pembangunan yang terkait
i. Jangkauan pengendalian.

Faktor-faktor yang Menghambat terlaksananya akuntabilitas
Berbagai hal diperkirakan dapat menyebabkan mengapa akuntabilitas kinerja instansi pemerintah tersebut tidak berjalan dengan baik,dapat disimak pada penjelasan berikut: 

Low Literacy percentage
Dalam populasi yang kurang peduli terhadap hak-haknya dan masalah-masalah sosial, cenderung memberikan toleransi yang tinggi terhadap lack of accountability, malpractice, nepotisme, sogok menyogok, dan korupsi. Semakin kurang rasa saling tolong menolong di antara anggota dan kelompok masyarakat suatu society akan semakin tinggi rasa tidak peduli pada tingkat penyelenggaraan pemerintah. Setiap individu sibuk memikirkan diri sendiri tanpa menghiraukan kesengsaraan orang lain sehingga lupa pada berbagai kekurangan dalam penyelenggaraan tugas pemerintah yang akan mengurangi akuntabilitas.

Poor Standard of Living
Pegawai dengan standar gaji yang kurang, memiliki kecenderungan untuk berusaha keras mencari penghasilan tambahan agar dapat menghidupi keluarganya. Dalam kondisi yang demikian ini, setiap usaha pemenuhan kebutuhan hidup tersebut dianggap normal-normal saja bahkan dinilai wajib.

Kemiskinan, kelangkaan, dan job insecurity memicu orang untuk menganggap normal bukan hanya korupsi akan tetapi juga sogok menyogok. Tidak seperti di negara lain yang sudah maju, standar gaji sudah dimaksimalkan setara dengan kebutuhan untuk menopang kehidupannya dan keluarganya. Pegawai dengan standar gaji di bawah kebutuhan minimum cenderung mencari penghasilan tambahan. Hal ini mengakibatkan terabaikannya akuntabilitas dan mendorong malpraktek administrasi publik. 

General decline in the moral values
Sikap hidup yang materialistis dan kosumerisme mendorong lack of accountability. Sikap moral sangat menentukan dalam usaha membedakan antara nilai-nilai baik dan buruk. Sikap konsumerisme yang terbentuk dalam suatu masyarakat dapat mengurangi/menurunkan moral dan tanggung jawab pegawai pemerintah pada public yang seharusnya dilayani. Hal inilah yang mendorong pegawai untuk mencari uang/penghasilan melalui cara-cara yang tidak wajar bahkan seringkali merugikan pihak-pihak yang lain.

A policy of live and let live
Dengan terjadinya penurunan nilai-nilai moral, maka manusia akan semakin mudah melakukan hal-hal yang melanggar aturan. Yang terjadi adalah mereka saling berlomba mencari keuntungan masing-masing dan mengabaikan kepentingan nasional yang lebih besar. Akibat yang lebih lanjut adalah dengan terabaikannya hak-hak publik untuk mengetahui kebijakan pemerintah serta implementasinya dalam perspektif akuntabilitas.

Cultural factors
Budaya yang berkembang dalam masyarakat di mana para pejabat pemerintah lebih mendahulukan pelayanan terhadap keluarga dan kerabat daripada publik merupakan budaya yang tidak mendukung akuntabilitas. Hal-hal yang demikian ini mendorong suburnya suasana korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kondisi budaya bangsa yang kurang baik biasanya banyak didukung dengan buruknya kondisi perekonomian mereka. Walaupun para pejabat tersebut sudah cukup berada, namun kerap kali hal ini masih terjadi. Hal ini disebabkan karena masih kuatnya budaya kemiskinan yang melekat pada sebagian besar bangsa tersebut sehingga mereka saling berebutan dan tidak menyukai antrian dalam mendapatkan sesuatu.

Government monopoly
Dalam kondisi di mana sumber daya tersentralisasi di tangan pemerintah dan setiap keputusan publik menjadi kewajiban pemerintah sendiri, mengakibatkan penumpukkan tanggung jawab sehingga sulit mengelola, memantau, dan mengevaluasinya. Birokrasi yang terlalu besar dan berbelit-belit telah mengurangi pelaksanaan akuntabilitas. Pada negara dengan sistem sentralisasi penuh, akuntabilitas tidak diperlukan karena masyarakat tidak diikutsertakan dalam penentuan kebijak-kebijakan public. Masyarakat hanya menjadi penonton dan kadang kala menjadi pelenkap penderita dalam kegiatan-kegiatan pemerintah.

Deficiencies in the accounting system
Buruknya sistem akuntansi merupakan salah satu faktor penyebab tidak dapat diperolehnya informasi yang handal dan dapat dipercaya untuk dipergunakan dalam penerapan akuntabilitas secara penuh. Akuntabilitas memerlukan dukungan sistem informasi akuntansi yang memadai untuk terselenggaranya pelaporan yang baik. Kelemahan ini meliputi sistem informasi yang tidak memadai dan tidak dapat diandalkan, sistem internal control dan internal check yang tidak memadai, manajemen yang tidak professional dan tidak kompeten.

Lack of will in enforcing accountability
Hal ini merupakan hasil langsung dari sikap pasif para pegawai yang tidak acuh terhadap kepentingan akuntabilitas. Hal ini juga disebabkan oleh live and let live policy. Hal ini diakibatkan para pejabat yang seharusnya melakukan tindakan koreksi atas penyimpangan juga telah banyak menumpuk kesalahan-kesalahan besar sehingga mana mungkin dia melaksanakan akuntabilitas yang akan membuka semua tindakan dan kegiatan mereka sehingga akan bermuara pada penghancuran dirinya sendiri.

Birocratic secrecy
Pemerintah yang melakukan control sangat ketat terhadap media massa, ekonomi, dan pemberitaan akan menjadikan suasana unaccountable pada penyelenggaraan pemerintahan karena tidak ada yang diberikan keleluasaan untuk melakukan tindakan korektif atas praktek-praktek penyelenggaraan pemerintah. Dalam kondisi demikian, masyarakat tidak berani mengeluarkan pendapat sehingga para pejabat pemerintahan akan leluasa melakukan kesalahan-kesalahan.

Conflict in perspective and inadequate institusional linkage
Dengan terlalu tingginya birocracy secrecy di sector public, akan mengakibatkan sulit melakukan review terhadap program-program sector public, dan akan sulit juga menentukan siapa sebenarnya yang diwajibkan untuk mempertanggungjawabkannya. Informasi mengenai apa yang ditargetkan dan bagaimana realisasinya biasanya tidak tersedia sehingga sulit untuk mengetahui capaian kinerjanya suatu instansi pemerintah.

Quality of officers
Kualitas pejabat/petugas mencakup dua permasalahan dalam akuntabilitas. Pertama, dengan besarnya jumlah capital yang terjadi untuk membiayai semua program pemerintah, maka dibutuhkan juga jumlah pegawai pemerintah yang banyak. Namun sayangnya kualitas yang rendah tersebut telah menyebabkan masalah serius terutama pemborosan, inefisiensi, dan tidak berjalannya akuntabilitas. Masalah yang kedua, adalah material yang tersedia kurang menunjang efisiensi dan tidak mendorong motivasi para birokrat sebagai akibat kurang tersedianya fasilitas diklat dan peningkatan profesionalisme.

Technological obsolescence and inadequate surveillance system
Tidak tersedianya teknologi yang dapat mendukung kelancaran kerja merupakan faktor penghambat yang cukup serius bagi terselenggaranya akuntabilitas. Teknologi yang telah usang, terutama teknologi informasi sehingga sulit untuk mendapatnya informasi yang akurat, tepat, handal, dan dapat dipercaya, akan sangat merugikan pelaksanaan akuntabilitas.

Colonial heritage
Suatu negara yang pernah dijajah selama minimal 40 atau 50 tahun sangat sulit untuk melakukan perubahan praktek-praktek pemerintahan yang autokratik sebagaimana telah dipraktekkan oleh penjajahnya dahulu. Kondisi pentabuan mengemukakan pendapat pada masa penjajahan biasanya akan terus biasanya akan terus dipraktekan oleh negara tersebut terutama oleh penguasanya. Masyarakat tidak diperkenankan untuk melakukan control dan mengetahui sejauh mana pelaksanaan kegiatan pemerintahan. Hal ini telah membawa dampak buruk terhadap penyelengara akuntabilitas.

Defecs in the laws concerning accountability
Kelemahan hukum yang paling mendasar adalah pernyataan di mana seseorang dianggap tidak bersalah sebelum dapat dibuktikan bahwa dia memang bersalah. Sedangkan untuk membuktikan apakah seseorang itu bersalah atau tidak sangat sulit dan memerlukan tenaga dan biaya yang tidak sedikit. Inilah yang sering terjadi di pengadilan di mana yang bersalah menjadi bebas karena keahliannya menyembunyikan. Hal ini telah mendorong tidak diselenggarakannya akuntabilitas. Pembuktian terbalik mungkin dapat mengatasi kelemahan ini.

Crisis Environtment
Instabilitas politik telah menciptakan rasa tidak aman dan ketidakpastian. Dalam kondisi yang demikian ini, masyarakat merasa ketakutan dan tidak menghiraukan akuntabilitas. Para birokrat mungkin akan segera minta pengunduran diri sebagai wujud rasa kekhawatiran yang tinggi atas situasi dan kondisi yang berkembang.

Demikianlah, hal-hal yang dianggap memberi peluang terjadinya mal practice dalam administrasi negara. Apakah dengan semua kondisi itu, tidak ada jalan ke luar untuk menjadikan administrasi negara berkembang kea rah yang lebih baik, walaupun tahap demi tahap? Plumptre T (1981) dalam artikelnya Perspective Accountability in The Public Sector memberikan tuntunan untuk mencapai keberhasilan akuntabilitas yaitu:

1. Exemplary Leadership
Pemimpin yang sensitif, responsif, dan accountable akan transparan kepada bawahannya maupun masyarakat, sehingga untuk memenuhi kebutuhan tersebut dia akan memerlukan akuntabilitas yang dipraktekan mulai dari tingkat yang paling bawah. Suasana yang kondusif ini sangat menguntungkan bagi terselenggaranya akuntabilitas di instansi pemerintah tersebut.

2. Public Debate
Sebelum kebijakan yang besar disyahkan seharusnya diadakan public debate terlebih dahulu untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Dengan demikian akan jelas apa yang akan dicapai dan bagaimana indicator kinerja yang harus dicapai organisasi di depan public. Masyarakat akan memberikan banyak masukan bagi keberhasilan program-program tersebut mengingat setiap kebijakan pemerintah pada umumnya mempunyai dampak sosial. Semakin besar kebijakan pemerintah akan semakin besar pula dampak sosial yang akan diakibatkannya.

3. Coordination
Koordinasi yang baik antara semua instansi pemerintah akan sangat baik bagi tumbuh kembangnya akuntabilitas. Koordinasi memang mudah untuk diungkapkan akan tetapi sangat sulit untuk dilaksanakan mengingat hal tersebut seringkali mengganggu/merugikan kepentingan suatu instansi pemerintah. Dengan kata lain, koordinasi sangat sulit dilaksanakan karena adanya conflict of interes di antara pihak-pihak yang berkoordinasi.

4. Autonomy
Instansi pemerintah dapat melaksanakan kebijakan menurut caranya sendiri yang paling menguntungkan, paling efisien, dan paling efektif bagi pencapaian tujuan organisasi. Otonomi yang dimaksudkan adalah pada teknis pelaksanaan kebijakan, namun diusahakan agar masih tetap terpadu dengan kebijakan nasional. Otonomi jangam sampai mengurangi koordinasi dan keberhasilan tujuan nasional.

5. Explicitness and clarity
Standar evaluasi kinerja harus diungkapkan secara nyata dan jelas sehingga dapat diketahui secara jelas apa yang harus diakuntabilitaskan. Dengan jelasnya ukuran/indicator kinerja suatu instansi pemerintah/program pemerintah maka akan sulit untuk menilai tingkat keberhasilan suatu instansi pemerintah. Kurangnya transparansi akan mengurangi eksistensi akuntabilitas.

6. Legitimacy and acceptance
Tujuan dan makna dari akuntabilitas harus dikomunikasikan secara terbuka kepada semua pihak sehingga standar dan aturannya dapat diterima oleh semua pihak. Standar pada umumnya merupakan kesepakatan di antara masyarakat untuk menjadi patokan bagi pengukuran tingkat keberhasilan ataupun kegagalan setiap instansi pemerintah.

7. Negotiation
Harus dilakukan negosiasi nasional mengenai perbedaan-perbedaan tujuan dan sasaran, tanggung jawab dan kewenangan setiap instansi pemerintah. Penentuan siapa yang bertanggung jawab atas suatu kegiatan dan siapa yang terkait dengan kegiatan dan siapa yang terkait dengan kegiatan tersebut perlu dinegosiasikan.

8. Educational campaign and publicity
Perlu dibuatkan pilot project pelaksanaan akuntabilitas yang kemudian dikomunikasikan kepada seluruh masyarakat sehingga akan dapat diperoleh ekspektasi mereka dan bagaimana tanggapan mereka mengenai hal tersebut. Penerimaannya masyarakat akan suatu hal yang baru akan banyak dipengaruhi oleh pemahaman masyarakat pada hal baru tersebut. Tanpa pengetahuan yang komprehensif akan membawa pada penerimaan yang bias.

9. Feedback and evaluation
Agar akuntabilitas dapat terus menerus ditingkatkan dan disempurnakan maka perlu diperoleh informasi untuk mendapatkan umpan balik dari para pembaca.penerima akuntabilitas serta dilakukan evaluasi perbaikannya.

10. Adaptation and recycling
Perubahan yang terjadi di masyarakat akan mengakibatkan perubahan dalam akuntabilitas. Sistem akuntabilitas harus secara terus menerus tanggap terhadap setiap perubahan yang terjadi di masyarakat.

Partisipasi Publik dalam Memantau Kinerja Instansi Pemerintah
Untuk memantau kinerja instansi pemerintah, selain menggunakan mekanisme yang telah disebutkan di atas, ada cara lain yang cukup efektif yaitu dengan memberdayakan partisipasi publik. Pada pembahasan berikut ini akan dibahas tentang pembentukan lembaga-lembaga akuntabilitas yang dapat mendukung terciptanya good governance.

Diamond (1998) menyebutkan bahwa untuk menghadapi kasus korupsi yang endemis diperlukan adanya tiga macam lembaga akuntabilitas yaitu, akuntabilitas horizontal, akuntabilitas vertical, dan akuntabilitas eksternal.

Lembaga akuntabilitas horizontal meliputi hokum dan peraturan perundang-undangan, badan anti korupsi, ombudsman, audit public, dan system peradilan. Hukum dan peraturan perundang-undangan harus secara tegas melarang segala bentuk KKN dan penyalahgunaan dana-dana Negara dengan ancaman hukuman yang berat. Peraturan perundang-undangan juga harus mampu mengendalikan pejabat pemerintah dan menggiring agar mereka mau mengumumkan seluruh kekayaannya sebelum menjabat sampai selesai masa jabatannya. Badan anti korupsi melakukan pemantauan secara terus menerus atas perilaku para pejabat termasuk mengamati dan meneliti kekayaan mereka, sedangkan kantor ombudsman bertugas menerima dan meneliti keluhan masyarakat tentang penyalahgunaan kekuasaan pejabat. Audit public harus dilakukan baik atas rekening pribadi maupun terhadap laporan keuangan instansi pejabat yang bersangkutan. Sedangkan lembaga peradilan harus dapat bekerja secara independent untuk memeriksa dan memutus kasus-kasus KKN yang muncul.

Lembaga akuntabilitas vertical menurut Diamond meliputi akuntabilitas pemilu dan media massa yang bebas dan independent. Dikatakan bahwa pemilu yang jujur dan adil dapat menjadi alat vital untuk mengantisipasi dan mengendalikan KKN sedangkan pemilu yang curang dan diwarnai politik uang akan mempermudah bagi terjadinya berbagai KKN. Begitu juga media massa harus dapat bekerja independent dan bebas agar masyarakat dapat mengerti secara jelas tentang apa yang terjadi di instansi-instansi pemerintahan. Dalam koneks lembaga akuntabilitas vertical ini diperlukan juga tumbuhnya LSM-LSM karena LSM merupakan pendorong bagi tumbuhnya masyarakat madani dan pengawas bagi akuntabilitas kinerja instansi pemerintah.

Adapun lembaga akuntabilitas eksternal menurut Diamond biasanya dibutuhkan di negara-negara sedang berkembang yang bentuknya bisa berupa pengamatan secara cermat dan dukungan oleh lembaga-lembaga internasional. Dalam kaitan ini disarankan oleh Diamond agar dunia usaha dan donor-donor dari luar dapat memiliki lembaga internasional yang dapat menerima laporan permintaan suap atau tindakan lain yang berbau KKN dari pejabat-pejabat pemerintah suatu Negara.

Dari berbagai bentuk lembaga akuntabilitas yang dipetakan oleh Diamond, maka untuk mengundang partisipasi public dalam menegakan akuntabilitas kinerja instansi pemerintahan guna menciptakan good governance maka perlu diadakan:

1. Pers yang bebas dan independent
Pemerintah bersama masyarakat harus bersama-sama menciptakan iklim yang kondusif bagi kehidupan pers yang bebas dan independent sebab dari dunia pers yang seperti itulah masyarakat dapat berpartisipasi untuk menegakkan akuntabilitas kinerja lembaga pemerintahan. Pemerintah harus membuka akses yang luas bagi pers untuk memperoleh informasi dari instansinya tentang pelaksanaan tugas-tugasnya, pers harus menginformasikannya kepada masyarakat secara jujur, dan masyarakat pun harus dapat menyampaikan pandangan-pandangan dan kritiknya melalui pers yang bebas dan independent tersebut.

Pada era Orde Baru pemasungan atas kebebasan pers dilakukan oleh pemerintah secara sistematis sehingga masyarakat sulit berpartisipasi secara maksimal melalui lembaga ini. Namun setelah rezim Orde Baru jatuh dan pemerintah tidak lagi melakukan pengekangan terhadap pers mulai tumbuh pula gejala anarki di mana tekanan atas kebebasan pers kemudian datang dari masyarakat yang cenderung anarkis. Jika dulu tekanan atas kebebasan per situ datang dari pemerintah maka setelah era reformasi lembaga pers dan para wartawan mendapat tekanan dari kelompok-kelompok masyarakat yang ingin menyelesaikan sendiri terhadap pemberitaan yang tidak disenangi, contoh kasus Tempo (Ada Tommy di Tenabang), pengeroyokan terhadap kantor indopos oleh kelompok Hercules. Keadaan yang demikian bukan saja tidak kondusif bagi hadirnya partisipasi masyarakat untuk menegakkan akuntabilitas tetapi juga mengancam proses demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Oleh sebab itu pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat, terutama yang mempunyai ormas atau parpol, harus segera mengatasi gejala yang mulai meresahkan.

2. Pembentukan Jaringan Ombudsman
Badan Ombudsman Nasional yang kini telah dibentuk oleh pemerintah perlu diperluas dalam bentuk jaringan sampai ke daerah-daerah di mana terdapat instansi pemerintah. Lembaga Ombudsman (Komisi Ombudsman Nasional) yang sekarang ada pada tingkat nasional dirasa belum cukup untuk melibatkan partisipasi public menjaga tegaknya akuntabilitas kinerja instansi pemerintah yang jaringannya sudah sangat luas. Idealnya jaringan lembaga Ombudsman itu seimbang dengan jaringan instansi pemerintah yang ada di seluruh wilayah negara Indonesia.

Masyarakat dapat menggunakan lembaga ombudsman ini menyampaikan laporan dan pengaduan-pengaduan jika ada pelanggaran atau penyalahgunaan kekuasaan oleh instansi pemerintah, bahkan meskipun baru berupa sinyalemen. Lembaga ombudsman ini kemudian harus meneliti dan mendalami setiap laporan dan pengaduan yang masuk untuk kemudian melakukan langkah berupa pelaporan kepada aparat yang berwajib maupun aparat yang berwenang. Hal-hal yang bisa ditolerir dan dipandang sekedar kesalahan prosedur administrative yang ringan dapat disampaikan oleh lembaga ombudsman kepada pimpinan instansi yang bersangkutan agar dilakukan pelurusan, sedangkan pelanggaran atau penyalahgunaan kekuasaan yang berat bertedensi melanggar hukum terus dilaporkan oleh lembaga ombudsman kepada pihak yang berwajib untuk diproses secara hukum. Di sinilah letak arti penting bagi gagasan pembentukan jaringan lembaga ombudsman sampai ke daerah-daerah.

3. Penguatan DPR/DPRD yang responsive dan proaktif
Partisipasi masyarakat juga dapat diundang melalui adanya DPR/DPRD yang responsive dan proaktif dengan anggota-anggota yang dipilih secara bebas dan langsung oleh rakyat. DPR/DPRD yang terbuka, aspiratif, dan proaktif akan dapat dengan mudah berkomunikasi dengan dan menyerap aspirasi masyarakat. DPR/DPRD harus membuka pintu lebar-lebar bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dan pengaduan atas apa yang dilakukan oleh berbagai instansi pemerintah dalam melaksanakan tugasnya. Bahkan DPR/DPRD perlu secara proaktif melakukan dengar pendapat tentang masalah-masalah yang muncul berkaitan dengan tugas-tugas instansi pemerintah tanpa harus menunggu permintaan masyarakat.

4. Penguatan LSM-LSM
Partisipasi dalam penegakkan akuntabilitas kinerja pemerintahan dapat juga digalakkan atau dikuatkan melalui LSM-LSM yang bekerja untuk mendorong dilakukannya akuntabilitas oleh instansi pemerintahan. LSM-LSM tersebut dapat menggalang kekuatan masyarakat untuk memaksa instansi pemerintah bersikap transparan dan bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Dalam menggalang kekuatan masyarakat untuk berpartisipasi itu LSM dapat melakukan kerjasama secara sinergis dengan pers, DPR, ombudsman, lembaga-lembaga internasional maupun di antara LSM-LSM itu sendiri. Akan menjadi lebih baik manakala berbagai LSM yang tergabung dalam berbagai asosiasi melakukan kerjasama untuk memberikan desakan kuat terhadap instansi pemerintah agar melaksanakan tugasnya dengan akuntabilitas yang benar-benar baik.