Baca Juga
Sarung Tenun Samarinda atau Tajong Samarinda adalah jenis kain tenunan tradisional yang bisa didapatkan di Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Sarung ini ditenun dengan menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) yang disebut Gedokan. Produk yang dihasilkan untuk satu buah sarung membutuhkan waktu 2 sampai 3 hari.
Kerajinan tenun sarung ini pada mulanya dibawa oleh pendatang suku Bugis dari Sulawesi yang berdiam di kawasan Tanah Rendah (sekarang bernama Samarinda Seberang) pada tahun 1668 yang menjadi cikal-bakal pendirian Kota Samarinda.
Ketika itu Sultan Bugis-Wajo, adalah La Madukelleng sang pemimpin dari Kesultanan Paser datang menuju Pulau Kalimantan. Salah seorang bangsawan yang datang bersama-sama rombongan Sultan La Madukelleng, adalah La Mohang meminta untuk diberikan tanah di daerah Kesultanan Kutai Kartanegara yang pada waktu pemimpinnya adalah Sultan Adji Pangeran Dipati Anom.
Kemudian Sultan Adji Pangeran Dipati Anom memberikan sebidang tanah yang sekarang sudah menjadi Kota Samarinda dengan syarat mereka harus patuh dengan kepemerintahan dari Kesultanan Kutai Kartanegara. Sejak itulah suku Bugis kemudian mengembangkan wilayah yang sudah diberikan oleh Sultan Adji Pangeran Dipati Anom. Diantaranya adalah dengan membawa teknik untuk membuat kain sarung tenun ikat ke Pulau Kalimantan. Karena sebab itu kain sarung tenun ikat sampai sekarang masih bisa ditemukan di perkampungan orang Bugis seperti Kampung Baqa dan Kampung Masjid.
Ragam Hias (Motif)
Motif yang biasa digunakan untuk menghias kain sarung tenun ikat memiliki bentuk geometris. Dimana garis-garis diatur sehingga terbentuk motif yang geometris. Ini merupakan motif yang paling dominan yang terdapat pada kain sarung tenun ikat dari Samarinda.
Kira-kira ada 90 ragam hias (motif) dalam sarung samarinda. Sarung dibuat warga Gang Pertenunan, Kelurahan Mesjid, Samarinda, Kalimantan Timur. Perajin kebanyakan keturunan atau pendatang dari Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, yang kabarnya amat terampil membuat tenunan turun-temurun. Mereka hijrah dan membangun permukiman di sisi selatan Sungai Mahakam lebih dari seabad lalu. Mereka pun melestarikan teknik menenun yang disebut walida. Teknik itu kini cuma dilakukan tidak lebih dari sepuluh orang.
Beberapa di antaranya dinamai dalam bahasa orang Bugis Wajo. Yang saya temukan dan ketahui ialah baliyare mar-mar, pucuk rebung, billa takajo, tabagolog, coka mannipi, jepa-jepa kamummu, dan siparape.
Ada yang mengatakan, corak kotak-kotak itu terinspirasi dari permintaan Sultan Kutai Kartanegara yang ingin agar masyarakat Wajo membuat tenunan yang berbeda dari buatan orang Sulawesi yang disebut songket. Entah dari mana inspirasi itu datang sehingga para perajin terdahulu membuat corak kotak-kotak sebagai pakem. Namun, seiring perkembangan zaman, bermunculan juga corak baru yang ternyata terinspirasi dari ukiran-ukiran orang Dayak.