Baca Juga


Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, terletak di Jl. Muhammad Jam no.1, Kota Banda Aceh atau di jantung kota Propinsi Nanggro Aceh Darussalam. Masjid di areal seluas 16.070 meter persegi, ukuran mesjid semula hanya 624 meter persegi, kini menjadi 4.760 meter persegi. Jumlah jamaah yang tertampung mencapai 9.000 orang, hingga menjadikan salah satu lokasi wisata religi di Aceh.

Masjid Raya Baiturrahman memiliki sejarah panjang. Memahami dengan baik sejarah masjid ini, berarti telah memahami sebagian sejarah perjalanan orang-orang Aceh.

Masjid Baiturrahman dibangun ketika Kerajaan Aceh diperintah oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M), kurang lebih tahun 1614 M. Bangunan indah dan megah yang mirip dengan Taj Mahal di India ini terletak tepat di jantung Kota Banda Aceh dan menjadi titik pusat dari segala kegiatan di Aceh Darussalam.

Sketsa ini (Peter Mundy 1637), menunjukkan bentuk masjid yang dibangun oleh Sultan Iskandar Muda tahun 1614 M  (http://gpswisataindonesia.blogspot.com)

Informasi lain tentang bentuk fisik Masjid Raya Baiturrahman dapat kita peroleh dari Bustanussalatin:

“Ada dalam negeri itu sebuah masjid terlalu besar dan terlalu tinggi kemuncaknya dari pada perak yang berapit dengan cermin balur. Maka ada segala orang yang sembahyang dalamnya terlalu banyak. Maka pada penglihat kami diperhamba yang mengatasi banyak orang sembahyang dari pada dalam masjid itu hanya dalam masjid yang dalam Haram Mekah Allah yang mulia itu jua. Maka masjid yang dalam segala negeri yang lain tiada ada seperti dalam masjid itu... Maka ada luas masjid itu seyojana mata memandang dan ada mimbarnya dari pada mas dan kemuncak mimbar itu dari pada suasa. Maka ada disebutkan orang pada puji- pujian dari mulut orang banyak: ‘Sayyidina Sultan Perkasa ‘Alam Johan berdaulat shahib al-barrayn wa al-bahrayn’, ya’ni tuan kami Sultan Perkasa ‘Alam yang mengempukan dua darat dan dua laut ya’ni darat dan laut masyrik-maghrib."

Di masa sultan Iskandar Muda, selain untuk shalat, masjid ini juga dipakai sebagai tempat pelaksanaan berbagai upacara keagamaan dan peringatan hari besar Islam lainnya. Misalnya menyantuni rakyat di saat meugang menyambut puasa, meugang hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha), laylat al-qadar (i‘tikaf), qurban, tempat pengkajian agama, dan lain-lain.

Bangunan Masjid Raya Baiturrahman sebagaimana yang digambarkan Bustanussalatin telah terbakar di masa Sultanah Nurul ‘Alam Naqiatuddin Syah (1675-1678 M). Ketika itu terjadi pergolakan yang dipicu oleh kaum wujudiyyah. Mereka menyatakan sikapnya terkait dengan sah-tidaknya kepemimpinan perempuan.

Menurut A. Hasjmy, inilah bentuk Masjid Raya Baiturrahman yang dibangun oleh Sultanah Nurul ‘Alam Nakiatuddin Syah (1675-1678 M) - (http://gpswisataindonesia.blogspot.com)

Masjid Raya Baiturrahman yang dibangun kembali oleh Sultanah Nurul ‘Alam Nakiatuddin Syah (1675-1678 M). Ketika itu, Masjid Raya Baiturrahman sering digunakan sebagai tempat musyawarah dalam menyusun strategi melawan Belanda.

Sebagai pusat perlawanan, maka, tak heran masjid ini selalu menjadi sasaran serangan Belanda. Pada 10 April 1873 M, masjid ini direbut oleh Belanda dan sebagian bangunannya mereka bakar. Pada 14 April 1873 M, kembali terjadi pertempuran sengit dan Masjid Raya berhasil direbut kembali oleh rakyat Aceh. Dalam pertempuran tersebut, Mayor Jenderal J.H.R. Kohler ikut terbunuh bersama lebih 400 ratus pasukannya.

Akibat kekalahan tersebut, Belanda kemudian menyiapkan pasukan yang jauh lebih besar dengan persenjataan yang lebih lengkap. Pada 6 Januari 1874 M, kembali terjadi pertempuran sengit. Walaupun telah dipertahankan mati-matian, namun, akhirnya rakyat Aceh kalah dan masjid direbut oleh Belanda. Ternyata, Belanda tidak hanya merebut masjid, tapi juga membakarnya hingga rata dengan tanah, sehingga menambah kemarahan rakyat Aceh.

Untuk membujuk dan meluluhkan hati rakyat Aceh yang marah pada kolonial Belanda, Gubernur Jenderal Belanda, J. W. van Lansberge kemudian mengunjungi Aceh dan berjanji pada orang Aceh untuk membangun kembali sebuah masjid agung yang baru, pengganti masjid yang telah terbakar.

Peletakan batu pertama pembangunan kembali masjid tersebut dilakukan pada 9 Oktober 1879 M oleh Tengku Malikul Adil, disaksikan oleh Gubernur Militer Hindia Belanda di Aceh saat itu, G. J. van der Heijden. Pembagunan masjid selesai dan secara resmi dibuka pada 27 Desember 1881 M atau 6 Safar 1299 H untuk diserahkan kepada rakyat Aceh.

Masjid Raya Baiturrahman di tahun 1881 M (http://gpswisataindonesia.blogspot.com)

Masjid Raya Baiturrahman di tahun 1881 M. Pada awalnya rakyat Aceh menolak, karena menurut mereka, masjid ini dibangun oleh kaphe. Masjid ini diserahkan kepada rakyat Aceh pada hari Selasa, 27 Desember 1881 M/6 Safar 1299 H.

Masjid Raya Baiturrahman dengan tiga kubah. Perluasan dengan penambahan dua kubah ini dilakukan oleh Gubernur Van Aken pada tahun 1936. Peristiwa gempa bumi dan tsunami pada tahun 2004 di Aceh meluluhlantakkan kota Banda Aceh dan sekitarnya berbagai sendi kehidupannya. Alhamdulillah, Alllah SWT. telah menyelamatkan Masjid Raya Baiturrahman tetap berdiri dengan kokohnya, dengan beberapa bagian mengalami kerusakan, walaupun tidak terlalu parah.

Arsitektur Bangunan Masjid Sulit sekali menemukan catatan awal bentuk dan rupa masjid dalam bahasa Indonesia. Umumnya para sejarawan masa kini merujuk pada catatan-catatan Belanda. Pada 1882, penulis Belanda J. Staal menggambarkan wujud masjid raya dalam bukunya De Indische Gids, dan De Missigit Raija in Atjeh. Deskripsi lain muncul dalam buku Tijdschrift voor Nederlandsch Indie” karya K.F.H van Langen. Pada 1920, muncul buku De Groote Moskee te Koeta-Radja karya J.Kreemer, juga penulis Belanda.

Masjid Raya Baiturrahman di tahun 1890 M

Dari sumber-sumber Belanda itulah diketahui sang arsitek bernama De Bruins. Ada yang menyebut ia orang Prancis. Ada yang mengatakan ia dari Italia. Ada juga yang mengatakan ia campuran Italia-Belanda.

Belanda menghabiskan duit sekitar 200.000 gulden untuk membangun masjid ini. Kontraktornya adalah Lie A Sie. Dia satu-satunya orang yang memasukkan penawaran ketika tender dibuka. Lie adalah orang China-Aceh. Berpangkat Letnan, ia bekerja sebagai bagian dari tentara Belanda. Inilah proyek Belanda berbiaya tinggi di Aceh. Hampir seluruh bahan bangunan didatangkan dari luar Aceh. Demi memuluskan tujuan merebut hati orang Aceh, pemerintah Belanda tetap memprioritaskan pembangunan masjid.

Bahan bangunan yang dipakai didatangkan dari sejumlah negara. Batu bata dari Belanda, kayu jati dibawa dari Burma (British-India), marmer dari China, besi untuk jeruji jendela dan pagar teras kubah didatangkan dari Belgia dan Surabaya. Genteng keramik dibawa dari Palembang.

Masjid Raya Baiturrahman (http://atjehpost.co)

Para ahli lain menyebut Masjid Raya bergaya elektik, percampuran unsur-unsur terbaik dari berbagai negara. Dengan hadirnya bentuk lengkung-lengkung bergaya Mughal bercampur gaya Eropa, Timur Tengah, dan unsur tropis.

Kubah Masjid

Masjid Raya Baiturrahman dengan tujuh kubah (http://kebudayaan.kemdikbud.go.id)

Kubah mesjid raya Baiturrahman mengingatkan pada gaya Mughal, kekaisaran yang membangun Taj Mahal selama 22 tahun pada kurun waktu 1630-1653. Gaya Mughal tetap lebih dominan karena Belanda menjadikan India sebagai rujukan.

Kubahnya telah bertambah menjadi tujuh. Empat menara menjulang: dua di sisi kiri dan kanan, dua lainnya di belakang. Atap masjid kini ditopang 20 tiang besar berbentuk persegi empat seukuran pelukan dua orang dewasa. Setiap tiang besar dikelilingi empat tiang bulat dengan ukuran lebih kecil. Ini belum termasuk ratusan penopang lain yang ada di sela-sela tiang utama.

Pintu masuk

Pintu masuk Masjid dengan Jam-nya (https://beantraveling.wordpress.com)

Di bagian atas gerbang pintu masuk ditempatkan sebuah jam bundar yang diapit relief dua mawar berkelopak delapan. Jika ditarik garis lurus, posisi jam dan relief mawar membentuk segitiga sama sisi. Penggunaan jam ini sebagai penanda masuknya waktu salat.

Untuk masuk ke masjid melewati lima lengkungan yang tinggi: tiga di teras depan, dua lainnya pada setiap sisi pintu masuk. Gerbang dengan lengkungan di atas itu ditopang pilar penyangga bulat yang bagian atasnya dihiasi ornamen.

Pintu masuk Masjid (https://beantraveling.wordpress.com)

Di atas lengkungan terdapat tulisan yang diukir dalam aksara Arab. Atap masjid di bawah kubah memiliki delapan lubang angin berbentuk lingkaran, serupa lubang angin di dinding kapal laut.

Pintu masuknya kini menjadi tujuh, tiga di depan, dua di sisi kiri, dan dua di kanan.

Ruang tengah

Bagian tengah ruang shalat berbentuk bujur sangkar yang diatapi oleh kubah utama yang indah dan megah bercorak bawang. Pucuknya dihiasi cunduk, seperti masjid-masjid kuno di India. Penyangga kubah berdenah segi delapan. Pada masing-masing sisinya, terdapat sepasang jendela yang dipergunakan sebagai sirkulasi udara.

Tempat sholat (https://www.flickr.com)

Ruang utama yang dibangun pada 1881 kini terasa kecil, hanya menempati satu dari 35 blok berukuran 12 x 12 meter. Ruang utama juga dipenuhi tiang penyangga berwarna putih dengan sedikit aksen hiasan di bagian bawahnya. Warna putih ini membuat ruang utama terkesan semakin lapang.

Mihrab

Mihrab (http://bujangmasjid.blogspot.com)

Mihrab berbentuk ceruk di dinding belakang yang mengarah ke kiblat dihiasi lapisan keemasan. Mimbar tempat khutbah berupa sebuah kursi ukir yang diletakkan di ceruk mihrab.

Bangunan kecil

Di belakang masjid ada dua bangunan kecil yang juga diberi atap kubah. Bangunan berbentuk persegi ini berfungsi sebagai gudang penyimpanan perkakas masjid.

Replika 


Replika Masjid Raya Baiturrahman di Taman Minimundus di Klagenfurt, Karintia, Austria (http://id.wikipedia.org)

Replika Masjid Raya Baiturrahman terletak disebuah taman miniatur terbesar di dunia bernama Taman Minimundus di Klagenfurt, Karintia, Austria. Bangunan pada replika tersebut terlihat sangat mirip dengan aslinya. Miniatur ini menggunakan skala 1:25.

Pengembangan Masjid

Pada tahun 1935, bangunan Masjid Raya Baiturrahman ini diperluas lagi dengan menambah dua kubah pada sisi kanan dan kiri sehingga jumlahnya menjadi tiga buah kubah. Perluasan ini dikerjakan oleh Jawatan Pekerjaan Umum Pemerintah Hindia Belanda (B.O.W) dengan biaya sebanyak 35 ribu gulden. Sebagai pimpinan proyek adalah Ir M Thahir dan selesai dikerjakan pada akhir 1936.

Setelah Indonesia merdeka, pemugaran kembali dilakukan terhadap bangunan Masjid Raya Baiturrahman. Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Agama RI tanggal 31 Oktober 1957, dilakukan penambahan dua kubah lagi di bagian belakang. Penambahan kubah ini selesai dikerjakan pada 1967. Selain menambah dua kubah, pemugaran juga dilakukan dengan membangun dua buah menara sebelah utara dan selatan. Dengan demikian, bangunan Masjid Raya Baiturrahman mempunyai lima buah kubah dan dua menara.

Pada tahun 1981, dalam rangka menyambut Musabaqah Tilawatil Qur'an Tingkat Nasional ke-XII, bangunan masjid ini diperindah dengan peralatan, pemasangan klinkers di atas jalan-jalan dalam pekarangan masjid. Selain itu, perbaikan dan penambahan tempat wudhu dari porselen dan pemasangan pintu Krawang, lampu chandelier, tulisan kaligrafi ayat-ayat Alquran dari bahan kuningan, dan instalasi air mancur dalam kolam halaman depan.

Pada tahun 1991-1993, Masjid Raya Baiturrahman melaksanakan perluasan kembali yang disponsori oleh Gubernur saat itu, Ibrahim Hasan. Perluasan tersebut meliputi halaman depan dan belakang serta bangunan masjidnya itu sendiri. Bagian masjid yang diperluas meliputi bagian lantai masjid tempat shalat, ruang perpustakaan, ruang tamu, ruang perkantoran, aula dan ruang tempat wudhu, serta enam lokal sekolah. Sedangkan. perluasan halaman meliputi taman dan tempat parkir serta satu buah menara utama dan dua buah minaret.