Baca Juga

Oleh : Parlindungan Sihombing


Pertanyaan Kunci: Defenisi Sistem Pemilu? Unsur-Unsur Sistem Pemilu? Besaran Daerah Pemilihan (dapil)? Lingkup dapil? Prinsif yang mendasari alokasi kursi? Jumlah kursi yang diperebutkan per Dapil? Peserta Pemilu dan Pola Pencalonan? Model Penyuaraan? Formula Pemilihan dan Penetapan Calon Terpilih? Single-member constituency dan Multi-member constituency? Sistem daftar tertutup/sistem daftar terbuka? Rumus mayoritarian/pluralitas? Rumus proporsional (perwakilan berimbang)? Bilangan Pembagi Pemilih (BPP)? Macam-Macam Sebutan Sistem Pemilu? Sistem Pemilu Mayoritarian? Sistem Pemilu Proporsional? Sistem Pemilu Campuran (MMP)? Sistem Pemilu Proporsional Daftar Calon Tertutup? Sistem Pemilu Proporsional Daftar Calon Terbuka? Sistem pemilu preferensial (alternatif vote) dan non-preferensial? Sistem pemilu Single Non Transferable Vote (SNTV) dan Single Transferable Vote (STV)? Sistem pemilu Single-member constituency dan Multi-member constituency?


Ada banyak kerancuan dan ketidak-tepatan kita jumpai ketika berbicara mengenai sistem pemilu. Kebanyakan orang khususnya di Indonesia mengidentikkan sistem pemilu ke dalam dua pilihan antara sistem proporsional dan sistem distrik. Padahal sistem proporsional dan sistem distrik (yang benar adalah sistem mayoritarian) hanya menjelaskan salah satu aspek dari banyak aspek sistem pemilu.

Defenisi Sistem Pemilu

Dalam Buku-1 Seri Demokrasi Elektoral berjudul ”Merancang Sistem Politik
Demokratis” yang ditulis oleh Tim Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, defenisi Sistem Pemilu dirumuskan sebagai berikut :


”Sistem Pemilu adalah seperangkat ketentuan dan prosedur yang menentukan bagaimana suara pemilih diberikan dan bagaimana mengkonversi suara pemilihmenjadi kursi penyelenggara negara dalam lembaga legislatif dan eksekutif, baik pada tingkat nasional maupun lokal.”

Jadi inti dari pada sistem pemilu itu sesungguhnya adalah seperangkat ketentuan dan prosedur yang dengannya ditentukan dua hal :
1.   Bagaimana pemilih menyatakan atau memberikan suaranya, dan
2.   Bagaimana suara pemilih (yang sudah dinyatakan itu) dikonversi/ ditukar/ atau diimplementasikan menjadi kursi-kursi penyelenggara negara.

Unsur-Unsur Sistem Pemilu

Tidak seperti persepsi awam yang mengaitkan sistem pemilu dengan segala sesuatu tentang pemilu, sistem  pemilu sesungguhnya mencakup unsur-unsur – dan karenanya ruang lingkup -- yang lebih jelas dan tertentu. Sistem pemilu mencakup enam unsur, empat di antaranya merupakan unsur mutlak atau unsur yang harus ada (constitutive parts of electoral system).

Dikatakan “mutlak” karena tanpa kehadiran unsur ini pemilu tidak mungkin dapat dilaksanakan. Adapun dua unsur lainnya bersifat tidak mutlak. Dalam arti, tanpa unsur ini pemilu tetap dapat dilaksanakan (yaitu, pemilih tetap dapat memberikan suaranya dan suara pemilih tetap dapat dikonversi menjadi kursi penyelenggara negara).

Empat unsur mutlak sistem pemilu adalah :

o   Besaran Daerah Pemilihan;
o   Peserta Pemilu dan Pola Pencalonan;
o   Model Penyuaraan;
o   Formula Pemilihan dan Penetapan Calon Terpilih.

Besaran Daerah Pemilihan (district magnitude)

Berbicara mengenai besaran daerah pemilihan (district magnitude) sama sekali kita tidak sedang berbicara mengenai besar-kecilnya wilayah pemilihan secara fisik atau teritorial. Berbicara mengenai besaran daerah pemilihan berarti kita tengah bebicara mengenai tiga hal sekaligus: (a) Lingkup Daerah Pemilihan; (b) Prinsif yang mendasari alokasi kursi, dan (c) Jumlah kursi yang diperebutkan di setiap daerah pemilihan.

Lingkup Daerah Pemilihan

Lingkup daerah pemilihan secara sederhana adalah batasan kesatuan wilayah yang ditetapkan dengan dasar tertentu sebagai lokasi atau tempat berlangsungnya pemilihan oleh kelompok pemilih tertentu, untuk memilih lembaga perwakilan tertentu, dan dengan jumlah wakil yang tertentu.

Cara penetapan lingkup daerah pemilihan bisa berdasarkan (atau mengikuti) batas wilayah administrasi pemerintahan, bisa berdasarkan jumlah penduduk, atau bisa juga berdasarkan campuran dari keduanya.

Contoh penetapan lingkup dapil berdasarkan “wilayah administrasi pemerintahan” misalnya dengan menetapkan dapil untuk pemilu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota berturut-turut adalah Provinsi, Kabupaten/Kota, dan Kecamatan. Artinya setiap kecamatan (tanpa melihat berapapun jumlah penduduknya) ditetapkan menjadi satu dapil untuk pemilu DPRD Kabupaten/Kota. Demikian seterusnya, setiap kabupaten/kota ditetapkan menjadi satu dapil untuk pemilu DPRD Provinsi, dan setiap provinsi menjadi satu dapil untuk pemilu DPR Nasional. Dalam kasus Indonesia, penetapan lingkup dapil untuk pemilu anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dapat digolongkan dalam kategori ini. Dimana setiap provinsi – tanpa melihat jumlah penduduknya – ditetapkan menjadi 1 dapil untuk pemilu DPD.

Sedangkan contoh penetapan lingkup dapil berdasarkan ”jumlah penduduk” misalnya dengan menetapkan 1 Dapil DPR Nasional = 500.000 penduduk. Artinya setiap 500.000 penduduk ditetapkan menjadi 1 daerah pemilihan untuk pemilu DPR. Di sini dapil ditetapkan murni berdasarkan jumlah penduduk, tanpa memperhatikan batas wilayah administratif.
 
Adapun penetapan lingkup dapil dengan sistem campuran adalah menetapkan sebuah dapil dengan mempertimbangkan baik jumlah penduduk maupun batas wilayah administratif. Contohnya adalah penetapan dapil di Indonesia untuk pemilu 2014. Dengan cara ini, satu wilayah administrasi misalnya, karena mempertimbangkan jumlah penduduk, bisa dipecah menjadi beberapa dapil. Atau sebaliknya, beberapa wilayah administratif dengan penduduk sedikit, digabung menjadi 1 dapil. Namun tidak seperti penetapan lingkup dapil murni berdasarkan jumlah penduduk, di sini faktor integrasi dan kesatuan wilayah administratif tetap menjadi pertimbangan dalam pembentukan dapil.

Prinsif yang Mendasari Alokasi Kursi

Selain soal “lingkup” dapil seperti dibahas di atas, pembahasan mengenai Besaran Daerah Pemilihan (district magnitude) juga membicarakan tentang prinsif yang mendasari alokasi kursi terhadap sebuah dapil. Misalnya, atas dasar apa kursi DPR dialokasikan kepada provinsi (atau atas dasar apa kursi DPD dialokasikan kepada setiap Provinsi).

Ada beberapa kemungkinan prinsif yang mendasari alokasi kursi terhadap sebuah dapil.

  • Prinsif kesetaraan keterwakilan antara warga negara

Dengan prinsif ini alokasi kursi terhadap dapil ditentukan berdasarkan prinsif kesetaraan keterwakilan di antara warga negara (equal representation). One person-one vote-one value, satu orang-satu suara-satu nilai. Berdasarkan prinsip ini, jumlah penduduk untuk setiap satu kursi DPR misalnya, harus sama atau relatif sama di seluruh provinsi. Indonesia saat ini termasuk negara yang menggunakan prinsif ini dalam alokasi kursi (kecuali untuk kursi DPD yang ditentukan berdasarkan prinsif kesetaraan keterwakilan antar wilayah).

  • Prinsif kesetaraan keterwakilan antar wilayah/daerah

Di sini, alokasi kursi terhadap dapil ditentukan berdasarkan prinsif kesetaraan keterwakilan antar wilayah/daerah. Setiap wilayah/daerah mendapatkan alokasi kursi yang sama, tanpa memperhatikan jumlah penduduknya. Ini juga dianut Indonesia khusus untuk alokasi kursi anggota DPD, dimana masing-masing provinsi mendapatkan alokasi kursi DPD yang sama (=4 kursi). Negara-negara yang menganut sistem single-member constituency (1 dapil = 1 kursi) juga kebanyakan menggunakan prinsif ini.

  • Prinsif campuran (kesetaraan antar warga negara dan antar wilayah)

Prinsif yang ketiga ini adalah upaya untuk mengambil sisi-sisi positif dari kedua prinsif sebelumnya. Semacam kombinasi atau campuran dari kedua prinsif, yakni alokasi kursi dengan mempertimbangkan sekaligus baik kesetaraan keterwakilan di antara warga negara maupun kesetaraan keterwakilan (atau keberimbangan) antar wilayah/daerah.

Ini misalnya pernah diberlakukan di Indonesia, yakni di era Orde Baru. Di mana, nilai satu kursi DPR di Pulau Jawa waktu itu tidak sama dengan nilai satu kursi DPR di luar Pulau Jawa. Tetapi nilai satu kursi DPR antar sesama provinsi di luar Pulau Jawa sama atau relatif sama. Demikian juga nilai satu kursi antar sesama provinsi di Pulau Jawa. Selain itu, adanya ketentuan bahwa setiap daerah kabupaten (tanpa melihat berapapun penduduknya) wajib diwakili minimal oleh satu wakil di DPR RI. Ini dimaksudkan agar ketimpangan Jawa-Luar Jawa tidak terlalu mencolok di Lembaga Perwakilan (DPR), mengingat 65% penduduk Indonesia ada di Pulau Jawa saat itu. Bisa dibayangkan, bila murni menggunakan prinsif kesetaraan keterwakilan antar warga negara, maka komposisi kursi Jawa-Luar Jawa di DPR adalah 65 : 35. Dimana, Pulau Jawa yang hanya 5% dari luas wilayah Indonesia tapi mendominasi 65% lembaga perwakilan nasional.

Jumlah kursi yang diperebutkan di setiap dapil

Aspek pokok dalam pembahasan besaran daerah pemilihan sebetulnya terletak pada jumlah kursi yang diperebutkan di sebuah dapil. Dalam literatur pemilu ada beberapa pilihan model mengenai jumlah kursi yang diperebutkan di sebuah dapil:

(a) Single-member constituency = Satu (atau dua) kursi setiap dapil;
(b) Multi-member constituency = Banyak kursi setiap dapil. Dapil berkursi banyak ini masih dapat dibedakan atas tiga macam:

o   Multi-member ”Kecil” (dapil dengan 3 - 6 kursi per dapil)
o   Multi-member ”Sedang” (dapil dengan 7-10 kursi per dapil)
o   Multi-member ”Besar” (dapil dengan 11 atau lebih kursi per dapil).

(c) Campuran= Sebagian anggota legislatif dipilih dengan pola Single-member constituency(1-2 kursi per-dapil), dan sebagian anggota lainnya dipilih dengan pola Multi-member constituency (banyak kursi per-dapil). Model yang ketiga ini biasanya dimaksudkan untuk menutupi kelemahan yang terdapat pada masing-masing model pertama dan kedua.

Sesuai kecocokannya, ketiga model dapil di atas lazimnya digunakan oleh sistem pemilu yang berbeda pula. Lihat tabel berikut :

Model Dapil
Sistem Pemilu
Single-member constituency
Mayoritarian atau First  Pass The Post (FPTP)
 Multi-member constituency
Perwakilan Berimbang atau Proporsional (PR)
Campuran
Mix Member Proportional (MMP)

Single-member constituency diadopsi dan menjadi model dapil yang digunakan oleh sistem pemilu mayoritarian atau First  Pass The Post (FPTP); Multi-member constituency digunakan oleh sistem pemilu Perwakilan Berimbang atau Proporsional (PR); dan Campuran diterapkan oleh sistem pemilu Mix Member Proportional (MMP).

Peserta Pemilu dan Pola Pencalonan

Unsur sistem pemilu yang kedua adalah peserta pemilu dan pola pencalonan. Untuk Peserta Pemilu, dua pertanyaan yang perlu dijawab adalah : (1) siapa yang menjadi peserta pemilu (parpol saja, perseorangan saja, atau keduanya); (2) apa syarat-syarat dan bagaimana mekanisme penetapan peserta Pemilu.

Indonesia saat ini, untuk pemilu anggota DPR dan DPRD, yang menjadi peserta pemilu adalah partai politik. Sedangkan untuk pemilu anggota DPD, peserta pemilu adalah perseorangan.

Adapun Pola Pencalonan ada dua kategori : pertama, pola pencalonan berdasarkan sistem daftar tertutup atau closed-list system, dan kedua, pola pencalonan berdasarkan sistem daftar terbuka atau opened-list system.
  • Sistem daftar tertutup ==> pemilih hanya memilih partai politik, dan calon terpilih kemudian ditentukan berdasarkan nomor urut yang telah ditetapkan oleh partai politik.
  • Sistem daftar terbuka ==> pemilih memilih langsung nama calon, dan calon terpilih kemudian ditetapkan berdasarkan perolehan suara terbanyak.
Indonesia sejak pemilu tahun 2009 sudah mulai menggunakan sistem daftar terbuka secara penuh, setelah sebelumnya dalam pemilu 2004 mulai dicoba menggunakan sistem daftar semi-terbuka.

Model Penyuaraan

Adapun unsur sistem pemilu yang ketiga, yakni model penyuaraan, di dalamnya mencakup tiga hal : (a) kepada SIAPA suara diberikan; (b) kepada BERAPA PIHAK suara diberikan; dan (c) BAGAIMANA memberikan suara.

Yang pertama, kepada siapa suara diberikan. Di sini ada dua pilihan masing-masing kepada parpol atau kepada calon (opsional).

Yang kedua,  kepada berapa pihak suara diberikan. Di sini terdapat tiga kemungkinan, yakni suara pemilih diberikan kepada satu pihak, dua pihak, atau kepada banyak pihak.

Dikatakan memberikan suara kepada satu pihak apabila pemilih memberikan suaranya kepada salah satu parpol atau salah satu calon (yakni memberikan suara secara kategorik antara “ini” atau “itu”);

Dikatakan memberikan suara kepada dua pihak apabila pemilih memberikan suaranya kepada lebih satu calon, atau lebih satu parpol, atau satu suara kepada calon dan satu suara kepada parpol (keduanya tanpa preferensi atau setingkat = dividual). Memberikan suara kepada dua pihak secara dividual atau setingkat adalah merupakan cara yang diterapkan dalam sistem pemilu campuranseperti Mix Member Proportional (MMP).

Adapun memberikan suara kepada banyak pihak adalah pemilih memberikan suaranya kepada banyak calon namun dengan urutan preferensi tertentu. Di sini suara pemilih diberikan secara ordinal(dengan merangking pilihan calon), dimulai dari nomor 1 sebagai preferensi pertama berturut-turut sampai nomor terakhir sebagai preferensi terendah). Pemberian suara secara ordinal ini digunakan dalam sistem pemilu preferensial atau alternative vote seperti yang diterapkan di Australia dan Irlandia Utara.

Yang terakhir, ketiga, soal bagaimana pemilih memberikan suaranya. Umumnya (kecuali e-voting) pemilih memberikan suaranya dengan salah satu dari dua cara berikut: (1) memberikan suara dengan mencoblos (to punch), atau (2) memberikan suara dengan cara menandai dengan tanda baca tertentu (seperti mencontreng atau memberi tanda silang dan sebagainya).

Formula Pemilihan dan Penetapan Calon Terpilih

A - Formula Pemilihan



Formula pemilihan adalah rumus untuk menentukan peserta pemilu yang berhasil mendapatkan kursi. Atau dengan kata lain rumus untuk menentukan perolehan kursi masing-masing peserta pemilu atau kontestan.

Ada dua rumus untuk menentukan peserta pemilu yang berhasil mendapatkan kursi:

o   Rumus mayoritarian/pluralitas; dan
o   Rumus proporsional (perwakilan berimbang).

Dengan rumus mayoritarian/pluralitas, maka penentuan peserta pemilu yang berhasil mendapatkan kursi di suatu dapil ditentukan berdasarkan suara terbanyak. Sedangkan rumus proporsional, perolehan kursi ditentukan secara proporsional (berimbang) sesuai dengan persentase perolehan suara masing-masing peserta pemilu di dapil yang bersangkutan.

Rumus mayoritarian/pluralitas biasa digunakan pada sistem pemilu dengan dapil berwakil tunggal (single-member constituency), dimana satu daerah pemilihan hanya memilih satu wakil. Metodenya sederhana. Parpol peserta pemilu yang memperoleh suara terbanyak – secara mayoritas maupun pluralitas – langsung mengambil semua kursi. Sedangkan parpol yang kalah, suaranya dianggap hangus dan otomatis tidak mendapatkan kursi.

Dalam penerapannya, formula mayoritarian/pluralitas tidak hanya berfungsi untuk menentukan peserta pemilu (parpol) yang berhasil memperoleh kursi, tapi sekaligus juga menentukan calon terpilih. Ini terjadi karena seperti disebutkan formula mayoritarian/pluralitasa biasa digunakan dalam pemilu dengan dapil berwakil tunggal. Di sini jumlah calon dari tiap parpol peserta pemilu untuk satu dapil masing-masing hanya ada satu, sehingga perolehan kursi bagi parpol sama artinya juga perolehan kursi secara otomatis bagi kandidat parpol yang bersangkutan.

Ini berbeda dengan formula proporsional yang hanya digunakan untuk menentukan perolehan kursi peserta pemilu (parpol). Bagaimana kemudian kursi-kursi yang diperoleh parpol itu dibagikan kepada calon-calonnya, merupakan tahapan yang terpisah dan dengan menggunakan metode tersendiri.

Karena itu, formula proporsional dalam penerapannya selalu berlangsung dalam dua tahap:

Tahap pertama ==> membagikan kursi setiap dapil kepada parpol peserta pemilu;
Tahap kedua    ==> mengalokasikan perolehan kursi parpol kepada calon/kandidat terpilih (biasa disebut ”penetapan calon terpilih”).

Untuk tahap pertama, yaitu pembagian kursi kepada parpol peserta pemilu, digunakan rumus proporsional yang berbunyi: ”setiap parpol peserta pemilu mendapatkan kursi proporsional atau seimbang dengan jumlah suara yang diperoleh.”

Secara teknis, untuk dapat mengalokasikan kursi kepada masing-masing peserta pemilu secara proporsional (seimbang), pertama-tama perlu diketahui terlebih dahulu “nilai” satu kursi di dapil yang bersangkutan. Nilai satu kursi ini dalam hukum pemilu di Indonesia biasa disebut dengan istilah Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) atau quota dalam bahasa Inggris.


BPP  = hasil pembagian jumlah suara sah semua parpol peserta pemilu di suatu dapil dengan jumlah kursi yang diperebutkan di dapil yang bersangkutan.

Setelah mengetahui angka BPP, maka tahap pertama kursi dapat langsung dibagikan kepada setiap parpol peserta pemilu yang mencapai angka BPP (quota) dan kelipatannya. Selanjutnya, apabila masih terdapat SISA KURSI yang belum terbagi, ia kemudian dibagikan kepada parpol dalam pembagian kursi tahap kedua. Di sini tersedia beberapa metode yang dapat digunakan, antara lain yang paling populer adalah membagikan sisa kursi berdasarkan urutan sisa suara terbanyak (the largest remainder).

Metode pembagian kursi proporsional seperti ini dikenal dengan metode kuota atau metode hare. Metode lain dalam membagi kursi secara proporsional kepada parpol peserta pemilu adalah metode divisor.


B - Penetapan Calon Terpilih

Seperti disebutkan di atas, rumus penetapan calon terpilih hanya diperlukan bagi sistem proporsional. Sedangkan sistem mayoritarian -- dengan hanya ada satu kursi setiap dapil dan hanya ada satu kandidat untuk setiap parpol -- tidak memerlukan metode pengalokasian kursi kepada calon, karena kursi parpol otomatis juga merupakan kursi kandidat yang bersangkutan.

Dalam sistem proporsional dengan dapil berwakil banyak, jumlah perolehan kursi parpol hampir selalu lebih sedikit dibanding jumlah calon yang memperebutkannya. Karena itu diperlukan prosedur untuk membagikan lebih lanjut kursi yang diperoleh parpol kepada kandidat atau calon-calonnya.

Ada dua rumus yang lazim digunakan untuk membagikan kursi parpol kepada calon (menetapkan calon terpilih) dalam pemilu sistem proporsional:
  • Berdasarkan Nomor Urut sesuai dengan daftar calon tetap (bagi yang menggunakan pola pencalonan  Daftar Calon Tertutup), atau
  • Berdasarkan urutan Suara Terbanyak (bagi yang menggunakan pola pencalonan Daftar Calon Terbuka).
Macam-Macam Sebutan Sistem Pemilu

Ada banyak nama atau sebutan yang muncul untuk menggambarkan pilihan sebuah sistem pemilu. Lazimnya nama-nama itu dikaitkan dengan salah satu unsur dari sistem pemilu. Tidak ada satu nama yang mampu mencakup bagi keempat unsur. Masing-masing hanya menjelaskan salah satu dari unsur mutlak tersebut. Berikut beberapa nama atau sebutan sistem pemilu:

o   Sebutan sistem pemilu yang diambil dari unsur ke-empat (formula pemilihan) :
-      Sistem Pemilu Mayoritarian,
-      Sistem Pemilu Proporsional, dan
-      Sistem Pemilu Campuran (MMP).

o   Sebutan sistem pemilu yang menjelaskan unsur yang ke-dua (pola pencalonan):
-      Sistem Pemilu Proporsional Daftar Calon Tertutup, dan
-      Sistem Pemilu Proporsional Daftar Calon Terbuka.

o   Sebutan sistem pemilu yang menjelaskan unsur yang ke-tiga (model penyuaraan) :
-      Sistem pemilu preferensial (alternatif vote) dan sistem pemilu non-preferensial.
-      Sistem pemilu Single Non Transferable Vote (SNTV) dan Single Transferable Vote (STV).

o   Sebutan sistem pemilu yang diambil dari unsur yang pertama (besaran dapil):
-      Sistem pemilu Single-member constituency (dapil berwakil tunggal),
-      Sistem pemilu Multi-member constituency (dapil berwakil banyak).


Daftar Pustaka

-         Diamond, Larry J. dan Marc F. Platter (ed), Electoral Systems and Democracy, Baltimore, Md.: The Johns Hopkins University Press, 2006.
-         Gallagher, Michael dan Paul Mitchell (ed), The Politics of Electoral Systems, Oxford: Oxford University Press, 2009.
-         Kartawidjaja, Pipit Rochijat, Alokasi Kursi: Kadar Keterwakilan Penduduk dan Pemilih, Jakarta: ELSAM, 2003.
-         Lijphart, Arend, The Difficult Science of Electoral Systems: A Commentary on the Critique by Alberto Penades, Electoral Studies, Volume 16, Nomor 1
-        Michael Gallagher dan Paul Mitchell, The Politics of Electoral Systems, Oxford: Oxford University Press, 2009.
-        Powell, G. Bingham, Elections as Instruments of Democracy: Mayoritarian and Proportional Visions, New Haven: Yale University Press, 2000.
-        Ramlan Surbakti, dkk, Merancang Sistem Politik Demokratis: Menuju Pemerintahan Presidensial yang Efektif (Buku 1 : Seri Demokrasi Elektoral), Diterbitkan oleh: Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan.
-        Ramlan Surbakti, dkk, Menyetarakan Nilai Suara: Jumlah dan Alokasi Kursi DPR ke Provinsi, (Buku-4 Seri Elektoral Demokrasi), Diterbitkan oleh: Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan.
-        Syamsuddin Harris, Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru, Jakarta: Yayasan Obor, 1998.
-        Sarah Birch, Electoral Systems and Electoral Misconduct, Comparative Political Studies, Volume 40, Nomor 12, Desember 2007.
-        William Liddle, Pemilu-pemilu Orde Baru: Pasang Surat Kekuasaan Politik, Jakarta: LP3ES, 1993.