Baca Juga
Rumah adat Sasadu (http://www.indonesia.travel)
Maluku utara adalah salah satu provinsi baru di wilayah timur Indonesia.Ibukota provinsi ini adalah Sovivi menggantikan Ternyata sebagai ibukota sebelumnya. Luas wilayah provinsi ini mencapai sekitar 140.255,32 km2 dimana sebagaian besar adalah perairan laut, yaitu seluas 106.977,32 km2 (76,27%) dan sisanya seluas 33.278 km2 (23,73%) merupakan daratan. Maluku utara terbagi kedalam 7 kabupaten dan dua kotamadya, yakni Kabupaten Halmahera barat, selatan, tengah, timur, serta Halmahera utara dan kabupaten pulau morotai. Sedangkan Kotamadya yang ada yaitu Ternate dan Tidore.
Sasadu
Sasadu Desa Lolori (http://travel.detik.com)
Sebuah rumah sederhana dibentuk dari bahan kayu dan anyaman daun sagu. Sekilas mirip pendopo khas Jawa tetapi jelasnya ini adalah rumah adat peninggalan leluhur suku Sahu di Pulau Halmahera, Maluku Utara. Rumah adat ini menjadi tempat warganya berkumpul, bersantap, dan berbagi nilai-nilai leluhur dan kearifan lokal yang terus dipegang teguh melekat dalam kesehariannya.
Bangunan
Bermakna kestabilan dan kerendahan hati (http://travel.detik.com)
Pembangunan rumah adat ini tanpa menggunakan paku tetapi sepenuhnya berbahankan alam dan kearifan lokal. Bangunannya didominasi batang pohon sagu sebagai tiang dan kolom serta daun sagu sebagai pelapis atap. Pohon sagu sendiri mudah didapat di Halmahera dan menjadi makanan pokok. Selain itu, pohon sagu juga dilambangkan sebagai pohon kesejahteraan. Rumah adat ini memiliki enam pintu untuk jalan masuk dan keluar, meskipun setiap sisinya tidak berdinding. Dua pintu untuk jalan masuk keluar bagi perempuan, dua pintu bagi lelaki, dan dua pintu bagi para tamu. Rumah adat ini juga dilengkapi bendera besar (panji) dan bendera kecil (dayalo) serta sekelilingnya dihiasi kain putih berbentuk bukit-bukit kecil (paturo) yang melambangkan NKRI.
Tanpa paku logam, tali ijuk tak terputus (http://travel.detik.com)
Ornamen
Sasadu memiliki dua ujung atap berukir kayu berbentuk haluan dan buritan perahu yang di tempatkan pada kedua ujungnya. Bubungan tersebut melambangkan perahu yang sedang berlayar. Suku Sahu sendiri merupakan salah suku yang suka berlayar dan berpetualang mengarungi samudera. Replika perahu layar juga ditempatkan di dalam rumah adat ini yang disebut kagunga tego-tego (perahu perang yang ada di darat).
Perhatikan juga pada bubungan atapnya yang menjulang tergantung dua buah bulatan yang dibungkus ijuk. Itu merupakan simbol dua kekuatan supranatural yang diyakini suku Sahu. Kekuatan dimaksud adalah satu yang membinasakan dan lainnya sebagai perlindungan.
Filosofi
Rumah adat sasadu mencerminkan watak suku Sahu yang terbuka dan ramah. Bangunan yang tanpa pintu adalah isyarat bahwa siapapun dapat masuk ke dalamnya baik itu masyarakat asli maupun suku pendatang akan diterima dengan tangan terbuka. Ini juga menyiratkan tidak ada paksaan dalam berkomunikasi antarsesama. Semuanya berlangsung secara alami dan sukarela. Sasadu bagi masyarakat suku sahu merupakan bentuk penghargaan bagi kaum wanita. Itu karena di dalam ruangannya tersedia dua buah meja, satu meja khusus untuk perempuan di bagian depan dan satu meja lagi bagi laki-laki di bagian belakang. Menempatkan meja perempuan di depan menyiratkan makna bahwa bagi suku Sahu wanita akan didahulukan dan laki-laki senantiasa melindunginya dari belakang.
Fungsi
Rumah adat Sasadu untuk kegiatan seni budaya (http://www.indonesia.travel)
Rumah adat sasadu memiliki banyak fungsi. Selain sebagai ruang pertemuan dan tempat menerima tamu, juga untuk merayakan pesta adat yang dapat berlangsung hingga tujuh hari tujuh malam. Pesta tersebut biasanya untuk merayakan perkawinan dan kelahiran. Di depan rumah adat inilah biasanya digelar acara makan bersama dengan memainkan tarian adat tradisional. Berkunjunglah ke Jailolo dan arahkan langkah Anda dengan semangat untuk bertemu suku Sahu yang ramah. Mereka akan bercerita tentang budaya dan keunikan rumah adat ini. Rumah sasadu yang ditinggali suku sahu dapat Anda jumpai di Desa Gamtala, Kecamatan Sahu, Kabupaten Halmahera Barat. Di sana berjejer rumah adat sasadu pada sebuah lapangan luas.
Rumah adat Hibualamo
Hibualamo yang terletak di Dian Vista, Tobelo (https://yakomaradio.wordpress.com)
Hibualamo dalam bahasa daerah Tobelo, Hibua Lamo berasal dari kata Hibua = Rumah dan Lamo = Besar, berarti ‘Rumah Besar’. Kearifan lokal ini berakar dari pemahaman bahwa seluruh penduduk daerah Halmahera Utara adalah berasal dari satu keturunan dan menempati satu Rumah Besar sebagai tempat mereka hidup secara rukun, memecahkan masalah bersama, toleran dan satu tanpa terpisah-pisah oleh agama.
Hibualamo sendiri mulai ada sejak tahun 600 Masehi dimana, disetiap desa yang ada di 10 Hona terdapat Hibua Lamo. Masuk pada 1606, oleh VOC membombardir seluruh Hibualamo dan pusat kerajaan Moro yang kala itu berpusat di Desa Mede (Keratonnya Berarsitektur Hibualamo). Serangan itu, lalu pada 1926 lewat musyawarah pemangku adat dari Tobelo Galela dan Kao kembali membangun rumah adat mereka di desa Gamsungi untuk mempertahankan ekstistensi hibualamo.
Namun, masuknya penjajah Jepang, kembali membuat Hibualamo yang sudah dibuat itu dihancurkan lagi. Lokasi rumah adat Hibualamo yang ada di Desa Gamsungi saat sekarang berada ditempat dibangunnya Hotel Presiden.
Pada saat kemerdekaan Republik Indonesia yakni antara tahun 1945-1950, para pemangku adat Tobelo kembali membangun Hibulamo. Namun kali ini, lokasi yang dipilih yakni di Jalan Halu Desa Gosoma.
Bangunan
Rumah adat Hibualamo di Pulau Kakara (http://lintas7travel.blogspot.com)
Rumah adat Hibualamo berbentuk delapan sudut dengan pintu masuk mengarah ke empat mata angin. Orang Tobelo mengistilahkan dengan wange mahiwara (pintu bagian Timur), wange madamunu (pintu bagian Barat), koremie (pintu bagian Utara) dan korehara (pintu bagian Selatan). Keempat pintu yang menghadap ke keempat mata angin melambangkan keterbukaan kepada siapa saja yang datang.
Hibualamo sebagai Rumah Besar dalam artian ruang geografis maupun ruang bangunan, melambangkan sekaligus persatuan yang terbuka yang berorientasi kepada kemanusiaan universal. Persatuan tak semata dibatasi ikatan pertalian darah, suku, wilayah, agama melainkan terbuka dan inklusif terhadap semua orang tanpa memandang latar-belakang. Sebagai pusat, hibualamo adalah sebuah rumah besar dalam artian rumah bersama (baca: oikoumenel) tempat kehidupan saling ditopang.
Warna Bangunan
Rumah adat Hibualamo diresmikan 19 April tahun 2007
Warna yang dominan pada rumah adat Hibualamo ada 4 dengan makna filosofis yang berbeda. Warna hitam melambangkan solidaritas, merah melambangkan semangat juang komunitas Canga. Sedangakan kuning melambangkan kecerdasan, kemegahan dan kekayaan. Dan warna putih melambangkan kesucian masyarakat 10 Hoana yang saat ini mendiami wilayah Halmahera Utara (Halut).
Fungsi
Menurut legenda, Hibualamo merupakan rumah besar yang dihuni oleh keluarga besar penduduk negeri Hibualamo yang terhimpun dalam 10 (sepuluh) suku dan tersebar di seluruh daratan Halmahera, Pulau Morotai dan Loloda.
Sebagai sebuah Rumah Besar, Hibualamo berfungsi sebagai pusat kekerabatan semua warga komunitas tanpa memandang latar-belakang asalkan ia menerima nilai-nilai hibualamo, untuk membicarakan kepentingan dan kebutuhan bersama (hirono), membahas upaya atau solusi atas persoalan bersama (jojobo), merumuskan kebijakan dan aturan-peraturan menyangkut kehidupan dan kemaslahatan bersama, pengorganisasian masyarakat, upacara adat, atau pertemuan antara pemimpin dan warga masyarakat.
Kegiatan adat yang biasanya dilangsungkan di Hibua Lamo selain tempat musyawarah, juga sebagai tempat perayaan upacara adat saat masuknya masa tanam dan panen. Bahkan termasuk menjemput tamu dan prosesi adat perkawinan juga sering digelar disana. Begitu juga keputusan dalam bentuk sangsi seperti denda adat yang keluar dari Rumah Hibualmo bersifat mengikat karena keputusannya paling tinggi.
Informasi lebih lanjut hubungi
Peta TMII (http://id.wikipedia.org)
Anjungan Provinsi Maluku Utara
Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur
Telp : (62) 21 8779 2078
Wevsite: http://www.tamanmini.com/anjungan/anjungan-maluku-utara